Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Pengamat)
PEMERINTAH karena keterbatasan kreasi perencanaan menjadikan konsep pertumbuhan wilayah seolah satu – satunya jalan pembangunan kawasan. Karenanya tak aneh saat ini kita melihat banyak penetapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), baik Kawasan Industri, Daerah Otorita, Zona Pariwisata prioritas, Kawasan Berikat dan lain sebagainya di seluruh kawasan Indonesia.
Pola pikirnya sederhana, dengan menyediakan lahan dan izin, akan ada aliran modal dan sumber daya lain yang mengalir terkonsentrasi. Dari sini harapannya akan ada perputaran ekonomi wilayah. Konsep yang tak salah, namun lemah pada titik tumpu sasaran yang belum berpihak pada masyarakat. Hasilnya pertumbuhan yang ada hanya melahirkan kesenjangan dan kemiskinan.
Pemerintah Provinsi Jambi, meski belum terkonstruksi dan memiliki daya dukung secara jelas, ikut latah menelurkan rencana pusat pembangunan melalui Kawasan Industri Kemingking (KIK). Meski tak terlalu jelas akan membangun apa sesuai kapasitas bahan baku untuk industri hilir, ditambah tak adanya pelabuhan pemdukung, bukanlah suatu problem, mengikuti trend.
Lalu apa sebenarnya tujuan dari pembangunan kawasan ini ? tulisan ini memberi pertimbangan.
Dalam sebuah kawasan yang luas, lazim terdapat sebuah wilayah yang menjadi pusat pembangunan yang memengaruhi pembangunan daerah lain yang ada disekitarnya. Wilayah tersebut dikenal sebagai pusat pertumbuhan (Epicentrum Growth).
Bicara ekonomi wilayah, Ali Kabul Mahi,(2016) dalam bukunya Pengembangan Wilayah, Teori dan Aplikasi menjelaskan bahwa pusat pertumbuhan memiliki dua definisi, secara fungsional, pusat pertumbuhan merupakan suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri yang sifat hubungannya memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga mampu mendorong kehidupan ekonomi, baik ke dalam maupun ke luar.
Sedangkan dalam kacamata geografis, pusat pertumbuhan merupakan suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas dan kemudahan. Sehingga lokasi tersebut menjadi pusat daya tarik yang menyebabkan berbagai kalangan tertarik untuk membuka usaha. Selain itu, masyarakat akan banyak yang datang untuk memanfaatkan fasilitas yang ada di daerah tersebut.
Pendapat di atas merupakan penjabaran dari Teori Christaller dan disempurnakan oleh August Losch menjelaskan bagaimana pola-pola lahan dari industri yang berbeda-beda terpadu membentuk sebuah sistem regional kota-kota.Pada awalnya konsep ini dianggap penting karena memberikan kerangka rekonsiliasi antara pembangunan ekonomi regional di wilayah pusat (kota) dan hinterland-nya.
Namun seorang ahli ekonom Swedia yaitu Gunnar Myrdal, mengatakan ada dua dampak akan hal ini, Pertama , Spread effect, yaitu efek penyebaran pembangunan dari suatu pusat pertumbuhan ke daerah sekitarnya yang bersifat atau membawa dampak menguntungkan. Contohnya: Investasi atau modal yang masuk dari daerah lain yang terus meningkat. Selain efek penyebaran yang menguntungkan,
Selanjutnya, Polarisasi ekonomi juga bisa menyebabkan backwash effect yaitu efek pengurangan yang cenderung bersifat atau membawa dampak negatif bagi daerah sekitarnya. Contoh backwash effect: Kesenjangan pembangunan antara daerah pusat dan daerah pinggiran (hinterland).
Hari ini, faktanya tidak seperti yang diharapkan karena dampak backwash effect lebih besar daripada spread effect, sehingga pengurasan sumber daya hinterland oleh pusat menjadi sangat menonjol dan mendorong ketimpangan yang makin lebar. Orang miskin malah mensubsidi kelompok mapan, melalui konsumsi dan upah murah.
Idealnya, pembangunan ekonomi yang dilakukan selain menciptakan pertumbuhan setinggi-tingginya, harus pula ikut menghapus dan mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan tingkat pengangguran, sekaligus menciptakan tambahan pendapatan masyarakat bagi rumah tangga.
Kegiatan ekonomi formal di kantong industri tidak mampu menyerap pekerja dengan pendidikan dan kemampuan rendah, sehingga pekerja dengan produktivitas rendah bekerja pada sektor informal (Lacabana dan Cariola, 2003). Selain itu, adanya permukiman kumuh dengan keterbatasan sarana dan prasarana pendukung menunjukkan adanya kantong-kantong kemiskinan di perkotaan.
Buktinya, meskipun tingkat kemiskinan di pedesaan atau daerah pinggiran sudah berangsur turun, indeks keparahannya ternyata meningkat. Artinya, terjadi pelebaran kesenjangan antar penduduk di bawah garis kemiskinan. Dari 0,57 pada September 2020, indeks keparahan kemiskinan perdesaan naik menjadi 0,59 persen pada September 2021.
Proses perkembangan di pusat pertumbuhan menyebabkan semakin besarnya heterogenitas, dimana tiap kelompok penduduk berusaha untuk menempati ruang sendiri sebagai bagian dari upaya untuk mendapatkan otonomi lokal, lambat laun meminggirkan masyarakat pedesaan.
Pada satu sisi, kegiatan ekonomi formal di wilayah pertumbuhan merupakan bentuk baru integrasi global yang semakin meluas. Hal ini ditunjukkan semakin banyaknya infrastruktur yang dibangun. Namun pada sisi lain, sektor ekonomi formal yang tercipta tidak mampu menyerap pekerja dengan pendidikan rendah sehingga muncul penduduk yang bekerja pada sektor informal.
Kemiskinan sering dikaitkan dengan keterbatasan penduduk dalam memperoleh pelayanan dasar dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Adanya heterogenitas di dalam suatu wilayah perkotaan menyebabkan perbedaan sosial penduduknya yang antara lain dapat dilihat dari tingkat pendapatan, lingkungan tempat tinggal dan kondisi kesehatan.
Tingkat kesejahteraan penduduk juga dipengaruhi oleh kondisi sosial yang terbentuk dalam komunitas, sehingga memberikan karakteristik kemiskinan yang berbeda antara wilayah satu dengan lainnya.
Kondisi ini makin runyam, ketika kita tahu, masalah kemiskinan tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan ekonomi, tapi multi dimensi. Dalam hal ini kemiskinan di pusat pertumbuhan seolah buah simalakama. Titik fokusnya pada regulasi yang berpihak pada masyarakat, jangan ketika ada pusat pertumbuhan di suatu wilayah, nasib masyarakat diserahkan pada mekanisme pasar. Jika ini yang terjadi, pusat pertumbuhan hanya menjadi perangkap kemiskinan yang menjerat. (***)
Discussion about this post