Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Pengamat)
URUSAN perut tidak mengenal subsidi, rakyat harus mengusahakanya sendiri. Kesimpulan ini terpikir oleh saya ketika pemerintah membiarkan harga minyak goreng kemasan mengikuti mekanisme pasar, ikut harga keekonomian mengikuti harga market, saat ada titik temu antara demand dan supply.
Keputusan pemerintah ini berbeda dengan proyek infrastruktur mercusuar yang diperlakukan khusus. Ibukota negara (IKN) dan proyek kereta cepat Jakarta Bandung misalnya, tetap mendapat kucuran APBN dalam jumlah ratusan triliun. Padahal, tak semua masyarakat yang merasakan proyek mercusuar tersebut.
Masalah efek ganda infrastruktur yang diharapkan, apa kurang berdampak kenaikan harga minyak goreng sesuai harga pasar ? Sehingga pemerintah mengambil resiko inflasi, daya beli dan gejolak masyarakat. Resikonya bagi masyarakat apa ? Tentu saja sejak subsidi dicabut, masyarakat harus membeli dengan harga yang jauh lebih mahal, sesuai dengan harga dunia.
Jadi, kita jangan bangga dulu dengan fakta kita adalah produsen terbesar sawit dunia, soal minyak goreng kita sama saja dengan orang eropa yang tak memiliki sebatang sawit di negaranya.
Sebelumnya, harga minya goreng ada Harga Eceran Tertinggi (HET) yang masih disubsidi oleh pemerinrah. Hal ini dilakukan setelah melihat kebijakan tersebut tidak ampuh mengembalikan stok minyak goreng di pasaran.
Tujuan Pemerintah mencabut kebijakan HET tujuannya menghilangkan kelangkaan.
Setelah HET dicabut dan diserahkan ke mekanisme pasar, harga dalam negeri relatif mendekati harga luar negeri. Dengan demikian, tidak ada dorongan lagi untuk menimbun dan menyeludupkan minyak goreng. Jadi setelah HET dicabut bisa dipastikan tidak akan ada kelangkaan minyak goreng di pasar.
Saat ini harga keekonomian minyak goreng juga tidak lagi ditentukan oleh harga CPO, ongkos produksi, distribusi hingga kemasan tetapi juga memperhitungkan keuntungan yang diinginkan oleh produsen.
Produsen bebas menetapkan harga pasar. Harga yang terbentuk saat ini pasar, adalah murni hasil mekanisme pasar. Kecuali untuk minyak goreng curah yang ditetapkan Rp14.000 per liter.
Selama ini sebelum minyak goreng dilepas ke mekanisme pasar, Kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng diperkirakan menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Laporan Institut for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), kerugian ekonomi akibat naiknya harga minyak goreng diperkirakan mencapai Rp3,38 triliun.
Nilai kerugian tersebut merupakan akumulasi dari dua periode pada April-September 2021 dan Oktober 2021-19 Januari 2022, sebagaimana dikutip DataIndonesia.id dari laporan tersebut.
Secara rinci, kerugian masyarakat akibat kenaikan harga minyak goreng pada April-September 2021 sebesar Rp0,98 triliun. Sedangkan, kerugian mencapai Rp2,4 triliun pada Oktober 2021-19 Januari 2022.
Berdasarkan kelas ekonominya, masyarakat dengan pengeluaran per kapita sebesar Rp1 juta-Rp1,5 juta per bulan mengalami kerugian paling besar, yakni 0,82 triliun.
Kerugian tersebut dihitung dengan menggunakan asumsi konsumsi minyak goreng sebesar 2,21 juta liter per hari.
Dari berbagai kerugian masyarakat akan gejolak harga minyak goreng ini, keputusan pemerintah membebaskan penentuan harga minyak goreng ke mekanisme pasar dinilai semakin menekan masyarakat, khususnya konsumen kelompok ekonomi menengah-bawah. Pemerintah tidak berdaya menghadapi kepentingan korporasi dan gagal mengendalikan harga minyak goreng. (***)
Discussion about this post