PENATAAN ulang kawasan Kantor Gubernur Jambi—lengkap dengan patung Sultan Thaha Syaifuddin baru, latar besar lambang Garuda, hingga nama baru “Lapangan Garuda”—akhir-akhir ini ramai berseliweran di media social dan bahan bahasan atensi publik. Seperti biasa, setiap perubahan pada ruang kota akan mengusik rasa kolektif masyarakat. Namun khusus untuk kasus ini, respons publik yang ‘faham’ justru mengisyaratkan sebuah kegelisahan yang lebih dalam: apakah identitas Jambi sedang ditata ulang, atau justru sedang dipudarkan tanpa kita sadari?
Dalam ilmu arsitektur, ruang publik bukan sekadar permukaan tanah yang dihias. Ia adalah “medium komunikasi politik dan budaya” di mana simbol menjadi bahasa yang membentuk persepsi masyarakat. Kevin Lynch menyebut bahwa citra kota terbentuk dari elemen-elemen visual yang konsisten dan kontekstual (Lynch, 1960). Ketika simbol-simbol baru ditanamkan tanpa memperhatikan memori kolektif masyarakat, ruang publik dapat berubah menjadi “teks liar”—dipenuhi pesan, tetapi tidak jelas kepada siapa ia sedang berbicara.
Patung Sultan Thaha yang baru tampak dibuat dengan intensi menghadirkan energi heroik. Pose tangan menunjuk dan ekspresi tegas menempatkan beliau dalam gaya monumental yang lazim digunakan untuk figur perlawanan. Tetapi apabila kita meninjaunya melalui kerangka semiotika arsitektur, representasi tokoh tidak hanya menyalin sejarah, melainkan membentuk ulang citra kepemimpinan di benak publik. Dalam budaya Melayu-Jambi, sosok sultan umumnya dipahami sebagai figur yang berwibawa, meneduhkan, dan berkarisma. Maka ketika pose visual yang tampil lebih mengarah pada karakter panglima, muncul pertanyaan esensial: apakah ini bentuk penghormatan, ataukah reduksi terhadap kekayaan karakter beliau sebagai pemimpin adat dan masyarakat?
Pertanyaan ini bukan kritik sentimental, melainkan evaluasi akademis tentang kesesuaian antara bentuk, makna, dan konteks.
Latar besar lambang Garuda menambah dimensi persoalan. Tidak ada yang meragukan kemuliaan Garuda sebagai lambang negara—tetapi setiap simbol memiliki habitatnya. Dalam teori place-making, lokalitas adalah sumber identitas ruang, dan keberadaannya tidak boleh dikalahkan oleh simbol-simbol yang berskala lebih luas (Relph, 1976). Ruang pemerintahan provinsi idealnya merefleksikan kekhasan daerahnya. Ketika simbol nasional yang sangat dominan ditempatkan di jantung ruang publik daerah, maka keseimbangan narasi menjadi tergeser. Apakah kita sedang memperkuat nasionalisme, ataukah tanpa sadar memutihkan lokalitas hingga kehilangan warna aslinya?
Penamaan “Lapangan Garuda” semakin mempertebal pergeseran ini. Dalam kajian cultural geography, nama tempat bukan sekadar penanda geografis, melainkan perangkat ideologis yang membingkai bagaimana masyarakat memahami ruang tersebut (Tuan, 1974). Nama baru ini menegaskan narasi nasional, tetapi pada saat yang sama membuat kita bertanya: di manakah simbol-simbol Jambi ditempatkan? Apakah identitas lokal sekadar aksesoris yang bisa disisipkan kemudian, atau seharusnya menjadi fondasi utama?
Di tengah diskusi publik yang berkembang, muncul pula pandangan bahwa sejarah Sultan Thaha sebagai tokoh pembela martabat wilayah dan masyarakat Jambi perlu diletakkan dalam konteks yang proporsional. Sebagai tokoh lokal yang memiliki nilai historis besar, beliau tentu layak dihormati. Namun pengemasan simbolik terkait beliau perlu dilakukan secara hati-hati agar sejarah lokal tidak disederhanakan demi pesan visual yang lebih dramatis. Akademisi sejarah budaya sering menekankan bahwa “penyederhanaan simbolik adalah bentuk hilangnya presisi makna” (Seixas, 2006). Dalam konteks ini, pilihan visual dan simbolik yang terlalu generik dapat membuat pesan sejarah menjadi kabur.
Akhirnya, penataan kawasan ini mengingatkan kita pada tesis penting Henri Lefebvre bahwa ruang adalah “produk sosial” (Lefebvre, 1991). Ia lahir dari dialog antara masyarakat, budaya, dan kekuasaan. Ketika dialog itu tidak berlangsung secara seimbang, ruang dapat menjadi representasi yang timpang. Karena itu, penataan kawasan Kantor Gubernur Jambi mestinya menjadi momentum untuk memperkuat identitas lokal: identitas yang tidak perlu bersaing dengan simbol nasional, tetapi berdiri tegas sebagai bagian dari mozaik kebangsaan.
Pertanyaannya kini sederhana tetapi penting:
Apakah ruang publik yang kita bangun hari ini akan memperkaya identitas Jambi, atau malah menenggelamkannya di bawah simbol-simbol yang tidak lahir dari tanah ini?
Menata kota adalah menata ingatan. Dan ingatan adalah sesuatu yang tidak boleh kita layangkan terlalu jauh dari akarnya. (***)
Daftar Pustaka
1. Eco, U. (1976). A Theory of Semiotics. Indiana University Press.
2. Lefebvre, H. (1991). The Production of Space. Blackwell.
3. Lynch, K. (1960). The Image of the City. MIT Press.
4. Relph, E. (1976). Place and Placelessness. Pion.
5. Seixas, P. (2006). “What is Historical Consciousness?” In Theorizing Historical Consciousness. University of Toronto Press.
6. Tuan, Y.-F. (1974). Topophilia: A Study of Environmental Perception, Attitudes, and Values. Columbia University Press.








Discussion about this post