Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Pengamat)
POSTUR APBD yang berkualitas tidak hanya dilihat pada perimbangan antara pendapatan dan belanja semata. Tapi juga pada keadilan dan pemerataan anggaran. Bila dua hal ini terpenuhi, program yang didanai APBD harus bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat, baik belanja infrastruktur, belanja sosial, dan belanja produktif lainnya. Jadi, jika ada APBD yang tidak mencerminkan keadilan dan pemerataan, maka bisa disimpulkan APBD tersebut tidak berkualitas.
Struktur APBD yang berkeadilan, dicerminkan alokasi anggaran yang memenuhi harapan banyak pihak, khususnya masyarakat, terlepas dari kelompok mana, pendukung atau bukan. Sehingga APBD yang baik berlandaskan kebijakan fiskal yang ekspansif, menjangkau sesuatu yang selama ini belum tersentuh. Untuk itu, pemerintah mesti menggenjot belanja daerah, yang diimbangi dengan penerimaan.
Secara philosofis, tujuan dasar APBD adalah membebaskan masyarakat dari kemiskinan dan mengangkat harkat martabat kaum miskin menjadi warga negara dengan seluruh hak dan kewajibannya.
Kenapa kemiskinan ? Karena sebagus apapun jalan, tugu kota, jembatan dan gedung kantor kepala daerah, itu tak akan bearti jika rakyatnya masih miskin. Bahkan salah tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia untuk mengentaskan kebodohan dan kemiskinan.
Sedangkan orientasi pemerataan, pemerintah daerah akan fokus pada pos-pos pengeluaran atau sektor-sektor yang lebih memiliki daya dorong terhadap pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelas bawah. Berkeadilan, mampu menjangkau masyarakat sebanyak mungkin, khususnya golongan menengah ke bawah.
Batasan adil dan merata bisa dilakukan, jika APBD dilakukan secara tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan kepatutan, proporsional antar daerah dan manfaat untuk masyarakat.
Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri tentang Pedoman Penyusunan APBD, ada tiga fungsi APBD.
Pertama, fungsi alokasi. Anggaran merupakan instrumen pemerintah untuk menyediakan barang dan jasa publik guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam fungsi ini, anggaran dibedakan antara belanja pegawai, belanja pembangunan atau belanja publik.
Kedua, fungsi distribusi. Anggaran merupakan sebuah instrumen untuk membagi sumber daya (kue pembangunan) dan pemanfaatannya kepada publik secara adil dan merata guna mengatasi kesenjangan sosial antara kota dan desa, miskin dan kaya, serta kelompok.
Lalu Ketiga, fungsi stabilisasi. Penerimaan dan pengeluaran negara tentu mempengaruhi permintaan agregat dan kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Dengan fungsi ini, maka anggaran menjadi instrumen untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental ekonomi.
Sebuah APBD mencerminkan upaya mewujudkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan. Jika lari dari tujuan ini, maka anggaran sejatinya telah berubah menjadi manajemen rente (rent seeking) yang hanya mengatasnamakan rakyat.
Di sini ada kewajiban publik dalam APBD yang mesti dilakukan, baik melalui kajian, diskusi, advokasi hingga dengan demonstrasi di jalanan. Kenapa ini perlu dilakukan ?
Karena sejatinya keadilan sesuatu norma yang harus diperjuangkan, bukan hanya bagi mereka yang di gedung dewan, tapi juga masyarakat. Di sini Dogma APBD uang rakyat menemukan pintu masuknya. Ketika publik terlibat pengawasan APBD.
Lalu dari mana publik tahu, sebuah APBD berkeadilan atau tidak ? Jawabannya dari angka-angka yang tertera dalam APBD. Dari angka kita bisa mengetahui ke mana orientasi kebijakan politik suatu pemerintah daerah.
Angka APBD mengambarkan daya akomodasi pada kepentingan rakyat miskin atau hanya pro kepada kepentingan kroni dan oligarki kelompoknya saja. Dari angka kita kita juga bisa mengetahui berapa banyak daerah yang belum melaksanakan anggaran mandatory atau wajib sesuai dengan amanat undang-undang dasar seperti 20 persen untuk anggaran pendidikan atau 10 persen untuk anggaran kesehatan.
Dalam hal konsepsi keadilan dan pemerataan APBD ini, penelitian Turkewitz (2001) menyimpulkan adanya hubungan yang kuat antara karakter suatu rezim pemerintahan dengan capaian berbagai indikator pembangunan.
Hasil penelitian ini menyimpulkan untuk mencapai kebijakan pro poor budget diperlukan adanya kebijakan awal seperti kebijakan umum yang memihak pada orang miskin (pro poor policy), dan adanya institusi-institusi, khususnya institusi pemerintah yang memihak orang miskin (pro poor institutions), serta yang lebih penting lagi adalah adanya pemerintahan yang memihak orang miskin (pro poor government). Persoalanya, rata – rata APBD baru mencapai tahap dasar kebijakan umum yang memihak orang miskin, tidak diikuti OPD dan Pemerintah.
Padahal tanpa adanya pra-syarat kebijakan seperti ini, sulit mengharapkan pemerintah daerah untuk mempunyai kebijakan anggaran yang bersifat pro – poor.
Untuk itu salah satu strategi dasar yang ditempuh adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi orang miskin untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam proses pembangunan ekonomi, menjadi pelaku yang berdaya, bukan sekedar menjadi penonton dari pesta pora kaum oligarki terhadap kue APBD. (***)
Discussion about this post