Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Pengamat)
ECOREVIEW – Mungkin panik karena desakan publik atau juga ingin menunjukan sikap pro investasinya. Gubernur Provinsi Jambi berencana menganggarkan Rp 50 miliar dari APBD perubahan tahun 2022 untuk pembangunan jalan khusus angkutan batubara.
Dana 50 milyar dari uang rakyat itu diperkirakan cukup untuk membangun sepanjang rutenya dari Kotoboyo hingga ke Kilangan, Bajubang panjangnya kurang lebih 32 kilometer.
Sebagai perbandingan, Jalan tambang di Parung Panjang Bogor sejauh 24,89 km, diperkirakan menghabiskan biaya konstruksi Rp 512 miliar dan biaya pembebasan lahan Rp 148,3 miliar, serta membutuhkan lahan seluas 59,3 ha. Entah dari mana rasio anggaran 50 milyar yang diajukan pemrov Jambi itu muncul.
Cerita ini seolah jadi meyakinkan dengan obrolan indah bahwa pembangunan jalan khusus angkutan batubara APBD merupakan skema yang bisa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah.
Saking semangatnya soal jalan tambang Kotoboyo – Kilangan ini, kita tak mendengar penjelasan, apakah studinya sudah beres, lalu, apakah visibilitynya juga layak artinya sisi bisnisnya juga baik. Sehingga pemprov dan DPRD kompak mengatakan ini akan menguntungkan. Bahkan, ada salah satu anggota dewan yang telah mengkalkulasi jalan khusus batu bara bisa mendatangkan PAD sebesar 90 milyar pertahun.
Sebenarnya, jika ditelaah dengan jernih, PAD dari jalan khusus batubara itu kesalahan berfikir yang besar, kenapa, karena biaya perawatan jalan batubara itu besar, tidak sama dengan jalan lain.
Bila ini menguntungkan swasta sudah pasti rebutan masuk. Jangan masalah ini jadi cerita abu nawas. Namun, masalahnya apakah ada solusi lain ? Jawabannya ada, Gubernur harus memaksa pengusaha bangun jalan, jika tak mau bearti jalan itu tak menguntungkan. 50 milyar bagi pemerintah uang kecil, tapi yang mau di alokasi yang perlu di danai juga banyak. Jangan swasta difasilitasi dan kepentingan rakyat diabaikan.
Selanjutnya, masalah mau bikin UPTD dari jalan khusus batubara ini jebakan anggaran bagi pemerintah. Karena akan jadi beban terus menerus tiap tahun. PAD yang masuk jauh mencukupi untuk operasional pemeliharaan.
Maka ketika saya ditanya masalah ini, saya mengatakan mungkin ini satu – satunya di Dunia, ada pemerintah yang menganggarkan jalan tambang pakai APBD.
Maka akan hal ini, saya melihat Gubernur bukan hanya tak berani menghentikan angkutan BB, tapi malah dibenturkan sama situasi yang dibentuk oleh pengusaha tambang. Saya khawatir jika jalan ini tak mampu dipelihara, duit habis, truk batu bara kembali ke Jalan. Mana ada terjadi, dana APBD di bangun untuk jalan tambang.
Dalam hal ini cobalah dewan Provinsi Jambi banding ke Sumsel, Kalsel, Kaltim, Bengkulu, ada tidak yang pakai APBD, atau jika ada anggaran dewan, bagus juga mereka ke Australia barat, lihat disana bagaimana orang bangun jalan batubara, ada tidak yang pakai uang rakyat.
Lalu menyangkut asal dana atau anggaran untuk pembangunan jalan tambang. Jalan tambang sendiri seharusnya harus sudah melalui tahap Feasibility Study (FS) dan Detail Engineering Design (DED) tahun 2022 serta Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Karena jalan ini menjadi jalan khusus tambang yang terkait dengan kepentingan pengusaha tambang, maka jalan tambang harus dibangun oleh badan usaha, perseorangan, atau kelompok masyarakat yang berkepentingan.
Karena jika dibangun pemerintah, maka jalan ini merupakan jalan umum. Jika menjadi jalan berbayar (jalan tol), maka jalan tersebut harus masuk rencana umum jaringan tol dan melakukan tahapan pengusahaan jalan tol ke Kementerian PUPR cq. BPJT.
Apa pun fungsi jalan tambang ini ke depannya, pastinya diusahakan pembangunan jalan tambang itu tidak menggunakan dana pemerintah. Bukan dari APBD atau APBN.
Tapi terlepas dari persoalan tadi, truk batubara yang melintas di jalan tersebut. Di samping membuat macet lantaran kerap parkir sembarangan, keberadaan truk-truk berbadan bongsor itu merusak jalan dan acap membahayakan pengguna jalan lain. Oleh karena itu, Pemerintah Jambi terus mencari solusi agar aktivitas masyarakat dan kegiatan tambang bisa berjalan beriringan.
Sejumlah dampak negatif timbul akibat aktivitas lalu lintas kendaraan pengangkut hasil batubara itu. Di antaranya meningkatnya kecelakaan akibat terjadinya mixed traffic atau percampuran pergerakan primer (jarak jauh) dan pergerakan sekunder (kegiatan sehari-hari).
Kemudian, ruas jalan kabupaten dan provinsi rusak akibat aktivitas angkutan tambang. Terakhir, terjadi kemacetan lantaran antrean kendaraan angkutan tambang yang tengah menunggu muatan atau menunggu waktu untuk melintas.
Kendati kemacetan mulai menurun seiring diberhentikannya operasional kendaraan pengangkut tambang pada siang hari, tetapi tidak mengurangi polusi dan kerusakan jalan. Salah satu solusi jangka panjang dan permanen yang ditawarkan Pemrov adalah pembuatan jalan khusus jalur Batubara, tapi jalan khusus itu bukan bersumber dari APBD.
Dalam hal ini tugas Gubernur mencari investornya, karena modelnya Business to Business atau B to B, jadi bisa oleh swasta terhadap swasta. Tidak mengunakan uang rakyat. (***)
Discussion about this post