KETEGANGAN geopolitik kembali memanas setelah Amerika Serikat melancarkan serangan terhadap fasilitas nuklir Iran di Fordo, Natanz dn Isfahan. Dunia internasional, khususnya komunitas hukum internasional, tidak boleh diam melihat praktik sepihak semacam ini terus berulang tanpa akuntabilitas.
Serangan semacam ini bukan hanya mencederai nilai-nilai Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tetapi juga mengukuhkan standar ganda dan impunitas yang telah lama menggerogoti tatanan hukum internasional.
Sebagai dosen hukum internasional, saya memandang tindakan ini sebagai preseden berbahaya bagi masa depan perdamaian dunia.
Pelanggaran Terhadap Piagam PBB dan Prinsip Non-Agresi
Serangan Amerika Serikat ke wilayah Iran, terlebih terhadap instalasi strategis seperti fasilitas nuklir, merupakan tindakan yang secara jelas melanggar Pasal 2 (4) Piagam PBB, yang menegaskan bahwa “Setiap negara anggota harus menahan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara lain.”
Piagam PBB hanya mengizinkan penggunaan kekuatan militer dalam dua situasi: (1) atas dasar mandat Dewan Keamanan PBB (Pasal 42), atau (2) pembelaan diri dalam arti sempit sebagaimana diatur dalam Pasal 51. Serangan AS terhadap Iran ini tidak memenuhi salah satu pun dari dua kriteria tersebut.
Pelanggaran Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Selain melanggar Piagam PBB, tindakan ini juga mencederai prinsip-prinsip fundamental hukum internasional seperti:
Prinsip non-agresi: Tidak ada ancaman langsung dari Iran terhadap wilayah AS yang dapat dijadikan dalih agresi.
Prinsip non-intervensi: Fasilitas nuklir Iran bersifat domestik dan berada dalam yurisdiksi internal yang sah.
Kedaulatan negara: Iran adalah negara berdaulat yang berhak menentukan arah kebijakan pertahanannya, selama tidak melanggar hukum internasional.
Pre-Emptive Strike: Alasan yang Lemah dan Tidak Sah
AS kerap menggunakan alasan pre-emptive strike atau serangan pendahuluan sebagai dalih legal. Namun menurut interpretasi yuridis dari Pasal 51 Piagam PBB, hak membela diri hanya sah ketika “serangan bersenjata telah terjadi” (armed attack has occurred). Doktrin pre-emptive yang bersifat spekulatif dan subjektif tidak dapat dijadikan dasar legitimasi. Jika semua negara memakai logika ini, maka dunia akan kembali ke hukum rimba.
Standar Ganda dalam Rezim Nuklir Internasional
Tindakan ini juga menunjukkan standar ganda yang nyata. Iran merupakan pihak dari Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT) dan mengizinkan pengawasan dari IAEA. Sementara itu, Israel justru tidak menjadi pihak dalam NPT, memiliki program nuklir rahasia, dan tidak mendapat sanksi internasional.
Mengapa negara yang patuh (seperti Iran) malah diserang, sementara yang menolak patuh (seperti Israel) dibiarkan? Inilah bentuk nyata dari hipokrisi geopolitik yang merusak keadilan dalam hukum internasional.
Agresi sebagai Kejahatan Internasional: Sayangnya ICC Tak Punya Yurisdiksi
Serangan AS ke Iran ini, jika dikaji dari perspektif Statuta Roma (Pasal 8 bis), bisa digolongkan sebagai crime of aggression. Namun sayangnya, baik AS maupun Iran bukan pihak dari Statuta Roma, sehingga Mahkamah Pidana Internasional (ICC) tidak dapat menjangkau kejahatan ini secara yuridis.
Ini adalah lubang besar dalam arsitektur hukum internasional: negara-negara besar enggan tunduk pada pengadilan internasional, tetapi merasa berhak menuntut kepatuhan hukum dari negara-negara lain.
Kecaman Akademik: Serangan Ini Tidak Sah dan Tanpa Mandat
Sebagai dosen hukum internasional, saya mengecam keras tindakan sepihak ini. Tidak ada dasar hukum internasional yang membenarkan serangan ke Iran. Tidak ada mandat dari Dewan Keamanan. Tidak ada serangan yang terjadi dari Iran ke AS. Ini adalah tindakan illegal use of force yang hanya akan memperburuk ketegangan kawasan dan melemahkan legitimasi tatanan hukum internasional.
Solusi: Memperkuat Mekanisme Akuntabilitas Internasional
Apa yang bisa kita lakukan menghadapi negara-negara besar yang terus “hobi berperang”?
Pertama, perlu reformasi terhadap struktur Dewan Keamanan PBB, terutama hak veto, agar tidak terus menjadi alat impunitas negara adidaya.
Kedua, perlu didorong protokol tambahan terhadap Statuta Roma agar kejahatan agresi bisa dijangkau walau pelaku berasal dari negara non-pihak.
Ketiga, masyarakat internasional dan akademisi harus terus mendesak transparansi dan keadilan dalam penerapan rezim nuklir, termasuk terhadap Israel.
Serangan seperti ini bukan hanya melukai satu negara, tetapi mengoyak kepercayaan umat manusia terhadap supremasi hukum internasional. Jika dibiarkan, hukum internasional tak lebih dari kata-kata kosong yang dipakai bila menguntungkan, dan diabaikan bila merugikan kekuasaan. (RED)
Discussion about this post