Jambiday.com, JAMBI- Tangis pilu menyelimuti keluarga Hartanto (36), seorang pengemudi ojek online (Ojol) yang tewas setelah ditabrak truk over dimensi over load (ODOL) yang diduga sopir mengantuk di Jalan Lintas Timur, Desa Senaung Sabtu dini hari (05/07/25) kemarin. Di balik peristiwa tragis ini, tersimpan realita pahit yang kian memprihatinkan. Keselamatan rakyat kecil masih terabaikan di tengah lalu lintas padat dan kendaraan bertonase berat yang terus melaju. Hartanto hanyalah satu dari banyak pekerja lapangan yang mempertaruhkan nyawanya demi menghidupi keluarga. Namun kali ini, ia tak kembali. Tragedi ini menjadi luka sekaligus tamparan keras bagi semua pihak khususnya pemerintah.
Waka I DPRD Provinsi Jambi, Ir H Ivan Wirata ST MM MT, menyampaikan keprihatinannya dengan suara lantang. Ia menyoroti akar permasalahan dan mendesak pemerintah untuk segera bertindak, bukan hanya dengan logika administratif, tetapi dengan hati nurani.
“Kita sudah terlalu banyak kehilangan nyawa akibat lalu lintas yang tidak manusiawi. Ini bukan soal data, ini soal rasa. Pemerintah harus lebih jeli dan peduli. Jangan tunggu korban berikutnya. Semua orang bisa menjadi Hartanto. Ada sebab dan akibat di sini, sopir Ojol dan sopir ODOL itu hanya korban karena mereka mencari nafkah. Siapa yang zolim disini? pengusaha pemilik truk angkutan yang meminta kepada sopir membawa tonase besar. Kenapa sopir mau membawa? karena gaji mereka dihitung dari beban yang dibawa, semakin berat semakin besar gajinya,” tegas Ivan penuh emosi.
Politisi yang akrab disapa Bang Ivan Wirata (BIW) menjelaskan, berdasarkan hasil kajian dari Balitbang Kementerian Perhubungan, terdapat empat faktor utama penyebab kecelakaan lalu lintas: faktor manusia, kendaraan, jalan, dan lingkungan. Dalam konteks kejadian ini, kelebihan muatan pada kendaraan terutama truk tambang menjadi penyumbang besar tingginya potensi kecelakaan.

“Truk yang over dimensi itu kejahatan lalu lintas dan over muatan itu pelanggaran lalu lintas dan keduanya sangat membahayakan. Saat bermanuver, pusat gravitasi kendaraan berubah, rem tidak responsif, dan jalan cepat rusak. Ini kondisi teknis yang tidak boleh lagi dianggap sepele,” jelas BIW.
Beberapa risiko kecelakaan akibat kelebihan muatan yang disoroti BIW antara lain, perubahan karakteristik kendaraan. Kendaraan menjadi sulit dikendalikan, terutama saat berbelok atau mengerem mendadak. Peningkatan jarak pengereman: Beban berat membuat kendaraan butuh jarak lebih jauh untuk berhenti. Kerusakan infrastruktur jalan: Jalan dan jembatan tidak dirancang untuk menanggung beban berlebih dalam jangka panjang. Dan adanya risiko terguling akibat stabilitas kendaraan terganggu, terutama saat melewati tikungan atau jalan yang tidak rata.
“Satu truk tambang ataupun yang membawa batu split dengan kelebihan muatan saat menikung bisa oversteer atau understeer. Ban bisa pecah, rem bisa blong. Semua ini bisa berujung pada maut,” ungkapnya.
BIW juga menekankan pentingnya edukasi dan sosialisasi secara masif kepada pengemudi dan pengusaha angkutan barang. Pemerintah perlu memperkuat penegakan aturan batas muatan serta rutin memeriksa kelayakan teknis kendaraan, seperti sistem pengereman, suspensi, dan ban.
”Harus dipahami, dalam hal ODOL itu yang kaya bukan sopir melainkan pengusaha. Dari semua yang terjadi sekarang ini kenikmatan dan kesejahteraan yang dirasakan segelintir orang yaitu orang kaya saja. Namun, siapa korbannya? masyarakat sebagai pengguna jalan raya, serta sopir yang terpaksa membawa muatan besar karena mengejar target pendapatan. Apa solusi bagi sopir? pemerintah bantu bayarkan BPJSnya, berikan beasiswa kepada anaknya serta untuk istri bantu berikan modal untuk usaha UMKM. Jadi sopir, tidak lagi berupaya mencari nafkah mati-matian karena faktor kebutuhan yang mendesak untuk makan, kesehatan dan pendidikan. Sopir akan patuh dan taat dengan aturan, pengusaha juga harus menerapkan hal yang sama,” pinta BIW.
Sebagai solusi jangka panjang, politisi Golkar ini mendesak percepatan pembangunan Jembatan Batanghari 3. Menurutnya, jembatan ini bisa menjadi titik terang dalam mengurai kepadatan lalu lintas, mengurangi interaksi langsung antara kendaraan kecil dan truk-truk besar, serta menghindari kecelakaan serupa terulang kembali.
“Jembatan Batanghari 3 bukan hanya proyek pembangunan, ini penyelamat nyawa. Jangan tunda lagi. Nyawa tidak bisa diganti dengan apapun. Saya meminta kepada gubernur dan juga Presiden, agar menyetujui pembangunan jembatan ini. Di Sumsel ada 6 jembatan untuk mengurai jalan, di Riau ada 5 sedangkan kita Jambi hanya 2. Namun, vitalnya ada di Jembatan Batanghari 1 yang usianya sudah tidak muda lagi. Resiko sudah tinggi di sana, jika terjadi traffic jam maka tidak bisa diprediksi apa yang terjadi. Karena beban yang mereka tanggung adalah beban berjalan, bukan beban berhenti. Jadi antisipasi harus kita ambil, pencegahan jauh lebih baik daripada mengatasi musibah yang telah terjadi,” pungkas BIW.
Diketahui bahwa Jembatan Batanghari 1 dibangun sejak 1982 dan diresmikan pada 19 Oktober 1989, sehingga pada tahun ini sudah hampir 36 tahun beroperasi. Estimasi biaya penanganan kerusakan mencapai sekitar Rp 15 miliar untuk tiga pilar, termasuk desain dan tender masing-masing tiang dianggap Rp 4–5 miliar. Pemerintah Provinsi Jambi pernah mendorong PT Perkumpulan Pengusaha Tambang Batubara (PPTB) untuk bertanggung jawab memperbaiki, sebagai bentuk tanggung jawab bisnis dan sosial.
Realita saat ini, jembatan ini menjadi titik rawan kemacetan parah, terutama pada jam sibuk pagi dan sore, bahkan sering menumpuk sampai di area Buluran dan Muaro Jambi . Meskipun telah dipasang CCTV untuk memantau arus kendaraan, respon lapangan terhadap kemacetan dinilai belum optimal. (OYI)
Discussion about this post