Oleh:
A m a n d a D e a L e s t a r i
JIKA pemberantasan korupsi membutuhkan partisipasi semua kalangan, satu hal penting yang kerap dilupakan adalah di manakah perempuan dalam pemberantasan korupsi? Apakah pemberantasan korupsi terkait dengan gerakan pemberdayaan dan pembelaan terhadap hak-hak perempuan? Apakah pemberantasan korupsi ada gunanya bagi pemajuan hak-hak perempuan yang secara sosial tersubordinasi di bawah laki-laki? Bila, pemberantasan korupsi membutuhkan dukungan semua kalangan, di sinilah peran hukum dan kekuasaan berlaku, perempuan sebagai salah satu kekuatan strategis yang harus didorong untuk turut maju menjadi aktor terdepan dalam pemberantasan korupsi.
Srikandi Anti Korupsi
Berbagai penelitian menyatakan bahwa perempuan cenderung tidak mementingkan diri sendiri (selfish) dan kemungkinan memiliki standar moral dan etika yang lebih tinggi daripada laki-laki. Berangkat dari pemahaman ini, dengan menempatkan perempuan ke dalam lembaga-lembaga publik dianggap akan mengurangi korupsi karena standar etika dan moralnya yang tinggi.
Pendapat ini juga mendapat bukti bahwa negara-negara dengan tingkat keterwakilan perempuan yang tinggi dalam politik, ternyata tingkat korupsinya rendah. Sebaliknya negara-negara dengan keterwakilan perempuan yang rendah justru tingkat korupsinya tinggi.
Pemikiran lain yang dikutip oleh Tong dan Rosemarie, dalam bukunya yang berjudul Feminist Thought juga melihat perempuan secara alamiah memiliki sifat merawat dan menjaga. Perempuan yang memiliki fungsi reproduksi cenderung untuk memiliki sifat-sifat untuk itu karena secara alamiah perempuan harus merawat, membesarkan, dan mendidik anak-anak. Sifat ini yang kemudian dianggap tidak kompatibel dengan korupsi, maka implikasinya sulit bagi perempuan untuk melakukan perbuatan koruptif, karena bertentangan dengan sifat alamiahnya.
Double Evil
Korupsi merupakan tindak pidana yang menimbulkan korban dalam jumlah besar. Di antara korban, terdapat perempuan yang secara sosial termarginalisasi sehingga korban dari korupsi yang paling parah adalah perempuan. Dengan demikian, agenda pemberantasan korupsi sejalan dengan agenda pemberdayaan perempuan. Namun apa jadinya jika perempuan justru menjadi pelaku korupsi bahkan menjadi operator untuk mengamankan koruptor dari jeratan hukum? Inilah yang dinamakan double evil.
Dalam budaya patriarki, perempuan hanya melaksanakan tugas dan perannya sebatas wilayah domestik saja. Maka jika perempuan terjun ke ranah publik dan memiliki posisi strategis dalam mengambil keputusan, itu merupakan hal tabu dan dianggap sebagai evil yang pertama. Evil yang kedua, jika perempuan yang terjun ke ranah publik dan memiliki posisi strategis dalam mengambil keputusan tersebut melakukan perilaku koruptif yang justru semakin memperparah posisi perempuan di lingkungan sekitarnya. Budaya patriarki inilah yang kemudian semakin memperburuk keadaan perempuan dalam ranah sosial.
Satu hal yang sangat tampak adalah hadirnya seksisme media terhadap koruptor perempuan yang menunjukkan adanya ketimpangan gender.
Mari sejenak melihat headline media yang melekat pada koruptor perempuan selama ini. Mulai dari: Payudara Malinda Dee, Si Cantik Angelina Sondakh, Rambut Ungu Miranda Goeltom, Tas Hermes dan Kerudung Louis Vuitton Nunun Nurbaeti, hingga terkahir, Pelakor Jaksa Pinangki. Semuanya kompak menjadi spotlight yang menghiasi pemberitaan perempuan dan korupsi.
Seksisme Media
Pemberitaan tentang tubuh, gaya hidup, dan penampilan yang seringkali tidak ada hubungannya dengan persoalan korupsi lebih didahulukan ketimbang analisis tentang korupsi itu sendiri. Representasi yang ditampilkan seakan menunjukkan bahwa media cenderung ikut andil dalam melanggengkan subordinasi dan dominasi kaum laki-laki terhadap kaum perempuan. Hal itu dikarenakan adanya seksisme atau paradigma dominan bahwa perempuan dilihat hanya sebagai objek seksual, mulai dari gaya hidup, tubuh, dan penampilannya. Stereotip-stereotip seperti ini yang sesungguhnya merugikan eksistensi kaum perempuan di masa depan.
Hal ini berbeda ketika koruptornya laki-laki. Pemberitaan terhadap koruptor laki-laki jarang sampai ke persoalan fisik, penampilan, atau gaya hidup seperti yang diberitakan kepada perempuan. Dapatkah kita menemukan berita tentang koleksi mobil mewah milik Djoko Tjandra? Nazarudin dengan wajahnya yang ganteng dan dadanya yang bidang? Atau koleksi arloji mewah milik Zumi Zola? Jarang bahkan bisa dibilang tidak ada. Jika pun ada, lagi lagi dikaitkan dengan perempuan-perempuan di sekitar mereka yang juga ditampilkan sebagai objek seksual dan bahkan diberi stigma bersalah atas kasus korupsi yang dilakukan oleh laki-laki.
Seksisme yang dilakukan media saat ini merupakan bentuk penindasan utama yang sangat meluas dan mendalam terhadap perempuan. Seks digunakan atau disalahgunakan sebagai daya tarik semua bidang komersial atau industri yang sebenarnya tidak ada hubungannya secara langsung dengan pemberitaan korupsi itu sendiri. Kasus korupsi seharusnya tidak disamakan dengan berita tentang selebriti. Jika terus dibiarkan, publik akan kehilangan keprihatinan atas tindakan korupsi itu sendiri dan akibatnya publik tidak belajar atas sesuatu yang berdasarkan informasi yang akurat bahwa korupsi itu kejahatan.
Bad Taste Journalism
Hampir setiap hari berbagai kasus korupsi dan pemberitaannya menghiasi kehidupan masyarakat. Akan tetapi, jika yang diberitakan adalah berbagai berita sensasional yang tidak berkaitan dengan substansi kasus korupsi itu sendiri, maka hal itu akan mengaburkan akar kasus korupsi tersebut. Inilah yang disebut bad taste journalism.
Sebagai salah satu pilar dalam negara demokrasi, pers dan media sangat berpengaruh terhadap pengetahuan, cara pandang, dan perubahan perilaku masyarakat. Media juga tidak lepas dari perannya sebagai industri bisnis, sehingga yang menjadi prioritas utama adalah profit atau keuntungan. Rating atau jumlah pembaca dan/atau penonton menjadi alat ukur bagi media yang menjunjung tinggi profit sebagai tujuan.
Pada kenyataannya, saat ini media memiliki kontribusi yang besar atas pemertahanan bias gender dan seksisme yang ada di masyarakat.
Namun akan menjadi persoalan ketika media malah memberi tafsir atas perempuan dengan cara yang merendahkan. Perempuan dijadikan sebagai objek atas tubuh dan penampilannya. Tubuh dan penampilan perempuan diotak-atik sedemikian rupa oleh media. Bahkan pembahasannya merupakan sesuatu yang di luar konteks kasus atau hal substansi. Eksploitasi perempuan sangat jelas terlihat melalui tampilan perempuan dalam cover, juga dalam pemilihan diksi judul berita yang seronok dan vulgar guna memenuhi unsur bombatis dan hotstuff dalam nilai berita. Sangat tidak sejalan dengan prinsip moralitas dalam kode etik jurnalistik.
Dengan beredarnya pemberitaan yang sensasional itu, masyakarat jadi menerima infromasi yang tidak jelas dan komprehensif, bahkan mungkin hanya pada permukaan dari kasus korupsi tersebut. Media yang membuat labeling dan stereotip terhadap perempuan akan menurunkan kualitas beritanya, karena telah memasukkan informasi yang tidak relevan, berlebihan, dan adanya dramatisasi dalam penulisan artikelnya. Berita yang dihasilkan menjadi tidak obyektif, tidak netral dan berat sebelah. Padahal yang penting untuk diketahui dan bisa dijadikan sebagai bahan pembelajaran bagi masyarakat adalah tentang proses korupsi terjadi, siapa saja aktor-aktor yang mungkin terlibat, institusi apa saja yang berperan, dan juga jalan keluar apa yang harus dipilih agar perilaku korupsi dapat dicegah bersama.
Inilah yang kemudian yang menjadi jalan terjal srikandi anti korupsi.
Disatu sisi harus tetap berpartisipasi dalam kehidupan sosial meski melawan kekuasaan patriarki, namun disaat yang sama juga harus mampu mengambil peran strategis dalam pemberantasan korupsi.
Amanda Dea Lestari, S.H., M.H.
(Penulis merupakan mahasiswi Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jambi)
Discussion about this post