DALAM perjalanan pembangunan sebuah kota, terutama yang menyentuh ruang publik dan simbol sejarah, selalu ada dilema antara modernisasi dan pelestarian. Kini, dilema itu hadir di Jambi. Pemerintah Provinsi Jambi berencana membongkar dan mengganti Patung Sultan Thaha Syaifuddin yang berdiri di depan Kantor Gubernur dengan patung baru berbahan tembaga. Sekilas, langkah ini tampak progresif—seolah menjadi upaya mempercantik wajah kota sekaligus bentuk penghormatan kepada sang pahlawan nasional.
Namun jika ditelusuri dengan sudut pandang akademik, keputusan tersebut tampak tergesa, pragmatis, dan berpotensi menanggalkan nilai historis serta artistik yang telah melekat kuat dalam ruang dan ingatan masyarakat Jambi selama lebih dari dua dekade.
Patung Sultan Thaha yang berdiri saat ini bukan karya sembarangan. Ia adalah hasil tangan dingin maestro patung nasional Edi Sunarso, sosok di balik sejumlah monumen legendaris seperti Patung Selamat Datang dan Patung Dirgantara di Jakarta. Pembuatan patung ini dilakukan dengan proses panjang, melibatkan sejarawan, budayawan, dan tokoh pejuang Jambi.
Materialnya bukan beton, melainkan logam campuran berkualitas tinggi. Jika kini tampak kusam, itu bukan tanda kerusakan struktural, melainkan akibat minimnya perawatan dan kesalahan metode pembersihan logam akibat oksidasi. Dalam konteks konservasi seni, kondisi seperti ini seharusnya menjadi panggilan untuk merawat, bukan mengganti.
Sayangnya, pendekatan pemerintah terhadap monumen ini terkesan visual-pragmatis—melihat dari permukaan tanpa memahami substansi. Penilaian bahwa patung lama “tidak menarik” atau “terbuat dari beton” jelas tidak cukup menjadi dasar kebijakan publik. Keputusan menyangkut warisan budaya seharusnya bertumpu pada kajian multidisipliner serta melibatkan masyarakat, bukan sekadar berdasarkan persepsi estetika. Hingga kini pun belum tampak adanya proses konsultatif yang melibatkan akademisi, komunitas seni, maupun pemerhati sejarah. Padahal, ruang publik tidak hanya soal bentuk, tetapi juga cermin identitas kolektif sebuah masyarakat.
Dalam konteks ini, pandangan Cesare Brandi, arsitek konservasi asal Italia, menjadi relevan: restorasi bukanlah usaha mengembalikan karya ke masa lalu, melainkan menjaga keberlanjutannya di masa depan. Prinsip inilah yang semestinya dijadikan dasar penataan kembali Patung Sultan Thaha bukan dengan mengganti, melainkan menghidupkan kembali nilai yang telah ada.
Patung pahlawan bukan sekadar benda tiga dimensi. Ia adalah simbol perjuangan, keberanian, dan martabat masyarakat Jambi. Di dalamnya hidup “roh ruang”—genius loci—yang terbentuk dari interaksi antara bentuk, sejarah, dan masyarakatnya. Mengganti patung ini dengan yang baru, seindah apa pun bentuknya, sama saja dengan memutus hubungan antara masyarakat dan narasi sejarah yang telah mereka bangun bersama selama dua puluh tahun terakhir. Dalam arsitektur lanskap, kehilangan kontinuitas semacam ini berarti kehilangan makna tempat.
Langkah yang lebih bijak bukanlah pembongkaran, tetapi revitalisasi. Pemerintah dapat melakukan restorasi teknis dengan menggandeng ahli konservasi logam, seniman patung profesional, dan akademisi arsitektur. Patung bisa dibersihkan, diperkuat, dan dipulihkan tanpa mengubah bentuk maupun identitasnya. Jika ingin memperkuat kesan monumental, yang seharusnya diatur adalah konteks ruangnya—bukan objeknya.
Pengaturan pencahayaan, taman, kolam reflektif, atau lanskap sekitarnya akan menonjolkan patung sebagai pusat visual kawasan tanpa meniadakan orisinalitas karya. Pendekatan ini bukan hanya lebih hemat secara ekonomi, tetapi juga lebih bermartabat secara budaya dan keilmuan.
Lebih dari sekadar proyek fisik, langkah ini bisa menjadi momentum pendidikan publik tentang pentingnya pelestarian karya seni dan arsitektur bersejarah. Pemerintah dapat menambahkan panel informasi mengenai sosok Edi Sunarso, proses kreatifnya, serta makna perjuangan Sultan Thaha bagi generasi kini. Dengan demikian, penataan kawasan tak hanya menampilkan keindahan visual, tetapi juga menumbuhkan kesadaran sejarah dan kebanggaan identitas lokal.
Jambi sedang tumbuh, dan ukuran pertumbuhan sejati bukan seberapa banyak yang diganti, melainkan seberapa arif sesuatu dijaga. Modernitas yang berakar pada kearifan lokal selalu lebih kuat daripada kemegahan yang lahir dari pengabaian sejarah. Mengganti patung lama demi tampilan baru hanyalah bentuk pragmatisme yang miskin refleksi.
Sultan Thaha adalah simbol keberanian dan integritas. Akan sangat ironis bila penghormatan terhadapnya justru dilakukan dengan cara yang melupakan nilai-nilai yang beliau perjuangkan: kebijaksanaan, kehormatan, dan keberanian menolak ketidakadilan. Patung itu tidak perlu diganti untuk menjadi megah; yang dibutuhkan hanyalah perawatan yang benar agar kembali bersinar—seperti semangat Jambi yang seharusnya tak pernah pudar oleh zaman. (***)




Discussion about this post