COBA kita bayangkan sebuah dunia tanpa penjajahan, tanpa bom yang jatuh di atas sekolah dan rumah sakit, tanpa rumah yang dihancurkan dalam sekejap oleh rudal permusuhan dan persengketaan. Dunia yang bernafas dalam damai, bukan dalam darah. Dunia tanpa Israel.”
Persoalan di atas tentu bukan seruan kebencian, melainkan ajakan untuk merenung tentang akar dari kekacauan geopolitik modern yang terus berulang-ulang tanpa henti di titik yang sama yakni di tanah Palestina. Walaupun wujud semarak hiruk-pikuk diplomasi dunia internasional yang seolah-olah mengambarkan kedamaian dan ketenteraman. Namun kenyataannya dunia menyaksikan bagaimana sebuah negara yang lahir melalui pengusiran dan pendudukan tetap dijaga eksistensinya oleh kekuatan global, sementara rakyat yang ditindas dipaksa menerima nasib tanpa pembelaan nyata.
Sebutan Israel bukan sekadar negara haram, ia telah menjadi simbol dari imperialisme modern, yang memanfaatkan retorika keamanan untuk membungkam perlawanan, dan memakai trauma masa lalu untuk membenarkan pelanggaran HAM hari ini.
Sejak berdirinya tahun 1948, sejarah Israel tak bisa dilepaskan dari rangkaian panjang kejahatan terhadap kemanusiaan mulai pengusiran paksa (Nakba), blokade total Gaza, pembangunan permukiman ilegal di Tepi Barat, dan sistem apartheid yang diakui oleh organisasi HAM dunia, hingga tragedy yang mengarah kepada tindakan genosida seperti yang kita saksi saat ini.
Dunia yang Terbelah
Meskipun kita berasal dari ayah dan ibu manusia yang sama (Adam dan Hawa), diciptakan oleh Pencipta Yang Maha Tunggal, dan hidup dibawah langit yang satu, tetapi saat ini kita telah berada di dunia yang terbelah bukan karena perbedaan ras, budaya atau agama, melainkan karena standar ganda dalam menilai dan menterjemahkan keadilan. Negara-negara yang katanya menjunjung tinggi demokrasi dan HAM memilih diam atau malah mendukung Zionis Israel dengan alutsista canggih, dana bantuan, dan veto di Dewan Keamanan PBB. Padahal, dunia menyaksikan-melalui layar ponsel dan televisi dan media lainnya- bahwa betapa anak-anak yang mati tertimbun puing rumah, ibu-ibu yang menangis di antara jenazah, tempat ibadah dan masjid yang hancurkan di bulan suci. Bayangkan jika entitas seperti Israel tidak pernah ada. Bayangkan tanah Palestina tumbuh sebagai negara berdaulat, multikultur, dan merdeka dan bebas dari penjajahan. Timur Tengah mungkin tidak akan menjadi medan peperangan panjang yang melahirkan radikalisme, arus pengungsi, dan ketegangan global yang tidak pernah reda.
Keharmonian yang Mungkin
Kita meyakini tanpa kehadiran Zinos Israel sebagai mesin pendudukan dan kezaliman, Timur Tengah bisa menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi hebat dan luar biasa. Kolaborasi lintas budaya antara Arab, Yahudi, Kristen, dan etnis lokal lainnya bisa membentuk sinergi seperti yang pernah terjadi di era Andalusia. Gaza bisa menjadi pelabuhan dagang utama. Yerusalem bisa menjadi kota spiritual dunia, bukan kota yang diperebutkan dengan kekerasan, bahkan bukan menjadi kota tumpahan darah, pembantaian dan kuburan massal. Bahkan dengan ketiadaan Zionis Israel, pastinya negara-negara Islam tidak akan terus-menerus dikuras untuk mendanai pertahanan rakyat Palestina. Generasi muda tidak perlu tumbuh dalam trauma perang. Dunia Muslim bisa memusatkan energi pada pembangunan sains, teknologi, dan keadilan sosial dan membangun tamadun manusia yang tinggi dilandasi Islam dan imani. Selain itu, pastinya warga Yahudi-yang tidak setuju dan berseberangan fahaman dengan zionisme-bisa hidup aman berdampingan tanpa dikaitkan dengan kekerasan yang dilakukan atas nama “negeri impian” mereka.
Fakta, Bukan Fantasi
Mungkin ada sebahagian orang akan menyebut gagasan ini utopis, bahkan provokatif. Namun yang kita hadapi saat ini bukan lagi soal geopolitik, tapi soal kemanusiaan. Apakah dunia bisa terus mentoleransi kebrutalan atas nama “hak bertahan hidup”? Apakah HAM hanya berlaku bagi bangsa yang kuat dan sekutunya? Negara Zionis Israel (jika diakui memang ada negaranya) bukan satu-satunya negara di dunia, tapi satu-satunya yang diberi keistimewaan absolut, meski terus melanggar hukum dan norma internasional. Ratusan resolusi PBB dilanggar tanpa konsekuensi dan sangsi. Ketika warga sipil Palestina dibunuh, dunia menyebutnya “konflik.” Ketika roket primitif dibalas dengan bom pintar, dunia menyebutnya “hak membela diri.” Ironis memang.
Seruan untuk Bangkit
Kita tidak bisa lagi menunggu dunia yang ideal terbentuk tanpa suara. Masyarakat global harus menyuarakan kebenaran tanpa takut dicap antisemit. Kritik terhadap Israel bukanlah kebencian terhadap Yahudi, melainkan kecintaan pada keadilan dan kedamaian dunia. Kita harus berani membayangkan dunia yang lebih baik, dan menolak untuk terus tunduk pada narasi ketidak jujuran yang dibuat dan dibangun oleh mereka yang menguasai media, modal dan kekuasaan. Saatnya kampus-kampus, lembaga pendidikan, tokoh agama, dan generasi muda para pencinta keadilan dan kedamaian menyuarakan perubahan narasi. Dunia tanpa Israel bukan berarti dunia tanpa Yahudi, melainkan dunia tanpa ideologi kolonial zionis yang terus membunuh atas nama Sejarah dan pembelaan diri.
Penutup: Imajinasi sebagai Perlawanan
Menulis dan membayangkan dunia tanpa Israel bukanlah sekadar retorika. Ia adalah bentuk perlawanan intelektual terhadap kejumudan sistem global. Jika dunia bisa membayangkan perdamaian tanpa ISIS, tanpa apartheid Afrika Selatan, tanpa Nazi, maka mengapa tidak, dunia juga berhak membayangkan perdamaian tanpa negara pendudukan yang menjadikan agama sebagai senjata dan luka masa lalu sebagai pembenaran tindakannya? Keharmonian dunia bukan impian. Ia bisa dimulai dari keberanian untuk berkata: cukup sudah. (***)
Discussion about this post