POLEMIK tentang penambahan anggaran dalam APBD Provinsi Jambi tahun 2025 sebesar Rp13 miliar untuk Islamic Center dan Rp25 miliar untuk Stadion Swarnabumi, menyedot perhatian publik. Sorotan tajam datang dari berbagai arah, mempertanyakan urgensi dan dasar hukum dari tambahan anggaran tersebut. Sebagai akademisi, saya mengapresiasi kewaspadaan publik terhadap pengelolaan keuangan daerah. Namun saya juga melihat bahwa dinamika ini harus ditanggapi dengan objektivitas, bukan sekadar prasangka.
Penting untuk dipahami bahwa proyek multiyears seperti Islamic Center dan Stadion Swarnabumi adalah proyek dengan skala besar, kompleks, dan bertahap. Multiyears memang dirancang agar proyek dapat dilaksanakan lintas tahun anggaran, namun bukan berarti seluruh aspek teknis dan fungsional bisa diselesaikan sekaligus dalam satu kerangka anggaran awal. Dalam praktik manajemen proyek, dikenal konsep closing phase yang merupakan tahap penyempurnaan, pengujian, dan aktivasi fungsi dari bangunan yang telah selesai secara struktur (PMBOK Guide, 6th Edition, Project Management Institute, 2017).
Maka ketika pemerintah daerah mengajukan tambahan anggaran untuk menyempurnakan fasilitas publik yang sudah berdiri, pertanyaannya bukan lagi “kenapa ada penambahan?”, melainkan “apa yang akan terjadi jika tidak ditambahkan?”. Tanpa kelengkapan teknis seperti sistem pencahayaan stadion, ruang ganti, drainase, AC, tata suara, hingga aksesibilitas bagi difabel, bangunan tersebut tak bisa dimanfaatkan sesuai fungsinya. Dalam konteks Islamic Center, bagaimana ia bisa digunakan untuk ibadah massal dan pendidikan keagamaan misalnya tanpa fasilitas wudhu yang memadai, toilet, dan pengamanan area? Atau bagaimana Stadion Swarnabumi dapat menggelar event resmi tanpa lampu stadion, ruang ganti atlet, dan sarana pendukung lainnya?
Dari sisi teori tata kelola publik, efektivitas pelayanan publik bukan hanya ditentukan oleh pembangunan fisik, tetapi oleh kemampuan infrastruktur tersebut berfungsi menjawab kebutuhan masyarakat (Hughes, 2003). Dengan kata lain, pembangunan yang tidak disertai fungsionalisasi adalah bentuk kegagalan dari sisi outcome, meski secara output tampak selesai.
Secara yuridis, penambahan anggaran bukan pelanggaran, bahkan justru merupakan bagian dari mekanisme keuangan daerah yang sah dan diatur dalam regulasi nasional. Dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, hingga Permendagri No. 77 Tahun 2020, dinyatakan dengan tegas bahwa perubahan dan penyesuaian anggaran adalah langkah legal selama dilakukan untuk memenuhi kebutuhan program dan kegiatan yang belum tuntas. DPRD sebagai lembaga representasi rakyat memiliki otoritas penuh untuk menyetujui penyesuaian ini, asalkan prosesnya akuntabel dan berbasis pada evaluasi teknis yang dapat dipertanggung jawabkan.
Kita juga tak bisa menutup mata bahwa praktik serupa terjadi di banyak daerah lain. Proyek multiyear Islamic Center Sumbar, Stadion Palaran di Kalimantan Timur, dan Gedung Perpustakaan Modern di Sulawesi Selatan semuanya mengalami penambahan anggaran pada fase akhir guna menyempurnakan fungsi dan kesiapan operasionalnya. Ini bukan karena perencanaan buruk semata, melainkan karena karakteristik proyek publik besar memang memerlukan tahapan lanjutan yang dinamis.
Saya tidak menyangkal bahwa proses awal pembangunan dua proyek ini sempat saya kritik. Ada catatan soal efisiensi, keterbukaan, bahkan prioritas. Tapi sebagai akademisi, saya juga berkewajiban menjaga sikap objektif. Ketika struktur fisik telah berdiri, maka membiarkannya terbengkalai tanpa fungsi justru akan lebih merugikan. Akan jauh lebih keliru jika kita membiarkan aset publik bernilai ratusan miliar rupiah mangkrak hanya karena tak disempurnakan dengan fasilitas pelengkap.
Karena itulah, penambahan anggaran harus dipahami sebagai bagian dari tanggung jawab bukan pemborosan, jangan terlalu buru-buru kita memberikan stigma pemborosan atau ‘hidden agenda’ lainnya. Apalagi jika fasilitas tersebut berpotensi menjadi simpul kegiatan keagamaan, sosial, dan olahraga berskala besar. Ketika stadion digunakan untuk event nasional, ketika Islamic Center menjadi tuan rumah perhelatan akbar keagamaan, maka yang kita petik bukan hanya manfaat sosial, tetapi juga nilai ekonomi dan kebanggaan daerah.
Masyarakat berhak mengkritisi. Tapi pembuat kebijakan juga wajib berpikir panjang. Jika kita membangun, maka kita harus menyelesaikan. Jika kita menyelesaikan, maka kita harus memfungsikan. Dan jika kita memfungsikan, maka kita tidak sedang memboroskan anggaran tapi sedang mengamankan investasi publik agar tidak jadi bangunan kosong tanpa makna.
Dalam konteks inilah, saya mendukung langkah DPRD untuk menyetujui penambahan anggaran, dengan tetap mengedepankan transparansi dan akuntabilitas. Ini bukan sikap kompromistis, tapi sikap rasional yang berpijak pada prinsip tanggung jawab dan kebermanfaatan. Karena sejatinya, membiarkan proyek publik tak selesai secara fungsional, hanya karena takut dikritik, adalah bentuk pembiaran yang lebih buruk dari sekadar menambah anggaran.
“Pembangunan tidak diukur dari berapa banyak gedung yang berdiri, tetapi dari seberapa fungsional dan bermanfaat gedung itu bagi kehidupan masyarakat. (***)
Daftar Pustaka:
1. Hughes, O. E. (2003). Public Management and Administration: An Introduction. Palgrave Macmillan.
2. Project Management Institute. (2017). A Guide to the Project Management Body of Knowledge (PMBOK®️ Guide)–Sixth Edition.
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
5. Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah.








Discussion about this post