Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Ekonom)
ECOREVIEW – Pangan adalah daya tahan sebuah negara, tanpa pangan yang kuat tidak ada negara yang mampu survive secara geo politik dan ekonomi. Ini bukan hanya fakta, tapi hukum alamiah bagaimana dunia berjalan.
Selain rudal atau peluru kendali presisi, Perang Rusia Ukraina menegaskan posisi pangan sebagai senjata yang membuat dunia kalang kabut. Ya, pangan dalam sebuah perang menjadi pengubah permainan (Game Changer).
Untuk hal ini, Jenderal Douglas Mac Arthur, seorang Panglima tertinggi Front Pasifik Amerika di perang dunia ke dua mengingatkan, logistik tidak memenangkan pertempuran, tapi pertempuran tidak bisa dimenangkan tanpa logistik. Sebagai seorang Zeni, Jenderal bintang lima ini mengingatkan peranan logistik termasuk pangan sesuatu yang tak terpisahkan dari strategi dan persenjataan perang.
Soal pangan ini, AS menuduh Rusia menggunakan bahan pangan sebagai senjata di Ukraina dengan menyandera pasokan pangan, tidak hanya untuk jutaan orang Ukraina, tetapi juga jutaan orang di seluruh dunia yang bergantung pada ekspor Ukraina.
Rusia dan Ukraina bersama-sama menyumbang hampir sepertiga dari pasokan gandum global. Ukraina juga merupakan pengekspor utama jagung, jelai, minyak bunga matahari, dan minyak lobak. Sementara itu, Rusia dan Belarusia, yang telah mendukung Moskow dalam perangnya di Ukraina, menyumbang lebih dari 40 persen ekspor kalium global untuk nutrisi tanaman.
Perang Rusia di Ukraina sendiri telah menyebabkan harga global untuk biji-bijian, minyak goreng, bahan bakar, dan pupuk melambung. Sebab, Rusia dan Ukraina merupakan produsen dan eksportir komoditas utama dunia. Migas, pertambangan, hingga pangan banyak berasal dari dua negara tersebut.
Perang membuat produksi dan distribusi berbagai komoditas itu terganggu. Plus, banyak negara yang memberlakukan embargo terhadap produk Rusia. Ini membuat pasokan komoditas dunia terganggu, macet.
Selain itu serangan Rusia secara efektif telah menghentikan semua perdagangan maritim di pelabuhan Ukraina, sehingga memotong komoditas ekspor penting untuk Ukraina dan mengancam krisis pangan global.
Data intelijen Amerika Serikat (AS) saat Rusia bergerak menyerang Ukraina pada 24 Februari 2022. Rusia telah membentuk blokade di sepertiga utara Laut Hitam. Jadi, masalahnya Komplek, ada embargo dari negara pembeli, lalu ada blokade dari Rusia. Siapa bertahan ? Yang pasti tak ada negara yang sanggup lapar.
Untuk meredam harga di tingkat domestik, sejumlah negara memberlakukan kebijakan restriksi ekspor. Dengan demikian pasokan di dalam negeri akan memadai sehingga harga bisa terkendali.
Indonesia pun melakukan hal serupa, sempat melarang ekspor minyak sawit mentah dan turunannya demi menurunkan harga minyak goreng di Tanah Air.
Terdapat 10 negara yang melakukan pembatasan ekspor pangan dan pupuk selama krisis Rusia-Ukraina. Enam negara membatasi ekspor pangan dan empat membatasi pupuk.
Salah satu yang mencolok adalah Harga gandum mencapai level tertingginya dalam 14 tahun terakhir imbas perang Rusia-Ukraina. Pasalnya, pasokan komoditas itu jadi terhambat.
Gandum sudah naik lebih dari 60 persen dalam tiga bulan terakhir. Kenaikan ini juga merupakan rekor kenaikan mingguan terbesar. Wajar mengingat, Rusia dan Ukraina sama-sama menyumbang sekitar 29 persen dari ekspor gandum global serta 19 persen dari ekspor jagung.
Dari kasus ini kita bisa belajar suatu negara apabila menguasai bidang pertanian sebagai bahan baku makanan akan menjadi Negara besar. Sebaliknya apabila suatu negara untuk memenuhi kebutuhan pangannya bergantung pada negara lain (impor) negara tersebut pada akhirnya akan mengalami keruntuhan.
Hanya saja di Indonesia ada kehilangan orientasi berpikir di kalangan petinggi dan pedagang. Mereka berpikir kenapa harus memproduksi pangan sendiri, kalau impor pangan harganya murah. Pedagang dengan beragam dalih melobi oknum pemerintah agar memberi ijin impor. Tidak disadari kondisi ini telah melemahkan kedaulatan pangan kita. Senjata pangan kita menjadi loyo.
Diperlukan semangat yang luar biasa untuk menghidupkan kembali pemikiran pangan pada jalur yang benar. Diperlukan kerja keras, cerdas dan dukungan dana yang lebih dari cukup agar pangan di negeri ini kembali menjadi senjata yang bisa menjadikan pemiliknya bangga dan berdiri tegak. (***)
Discussion about this post