ADA satu fenomena yang sangat sering saya lihat di berbagai akun media sosial kepala daerah, juga akun resmi instansi pemerintah yang membidangi kehumasan. Hampir setiap hari isinya sama: foto pejabat menyambut kedatangan menteri, foto menerima penghargaan nasional di Jakarta, foto menghadiri upacara hari besar, dan berbagai dokumentasi seremonial lainnya. Pertanyaan sederhananya: untuk apa?
Hari gini, rakyat sudah tidak membutuhkan konten seperti itu. Rakyat tidak hidup dari foto seremoni. Rakyat hidup dari hasil kerja, bukan dari gambar pejabat di panggung. Publik ingin tahu apa dampak dari semua kegiatan itu, bukan siapa yang hadir dan siapa yang berdiri di barisan depan. Mereka ingin tahu apa manfaatnya Anda dan birokrasi Anda digaji oleh uang rakyat. Itu inti komunikasinya.
Publik hari ini sudah jauh lebih cerdas, kritis, dan jenuh dengan kemasan. Yang mereka nilai adalah kinerja nyata, kejujuran informasi, dan perubahan yang mereka rasakan.
Humas Bukan Mesin Pengumuman
Masalahnya, humas pemerintah masih sering terjebak dalam pola lama: menjadi mesin pengumuman yang hanya mengabarkan kegiatan pejabat dari satu acara ke acara lain. Padahal humas modern tidak lagi berfungsi sebagai dokumentator protokoler, melainkan pembangun kepercayaan publik.
Kepercayaan publik tidak lahir dari banyaknya foto, tapi dari relevansi informasi. Tidak dibangun oleh dokumentasi, tapi oleh makna.
Hindari Komunikasi Seremonial
Contoh komunikasi pola lama: Pertama, ketika kepala daerah menyambut kedatangan menteri atau wakil menteri, yang ditampilkan hanyalah foto penyambutan. Tidak ada informasi tentang apa manfaat kunjungan itu bagi daerah. Publik tidak pernah diberi tahu apakah ada kebijakan baru, anggaran baru, atau solusi baru untuk masalah daerah.
Kedua, ketika kepala daerah menerima penghargaan nasional, yang diunggah adalah foto panggung dan plakat, tanpa penjelasan mengapa penghargaan itu penting bagi masyarakat. Jika tidak ada manfaat langsung, publik wajar bertanya: penghargaan itu untuk rakyat atau untuk pencitraan?
Ketiga, upacara hari besar seperti Hari Pahlawan atau Hari Sumpah Pemuda sering menjadi aktivitas simbolik. Publik melihat prosesi, tetapi tidak melihat tindak lanjut berupa kebijakan yang menyentuh hajat hidup orang banyak.
Di tiga situasi ini, publik tidak mendapat apa yang mereka butuhkan: informasi tentang perbaikan layanan, perubahan kebijakan, atau dampak bagi kehidupan sehari-hari. Publik Tidak Mencari Momen, Publik Mencari Makna
Ingat!!
*Publik tidak peduli siapa yang hadir. Publik peduli apa hasilnya.
*Publik tidak peduli foto panggung. Publik peduli apa manfaatnya.
*Publik tidak peduli seremoni. Publik peduli apa perubahannya.
Karena hidup publik tidak digerakkan oleh seremoni, tetapi oleh solusi. Maka komunikasi pemerintah yang relevan harus mampu menjawab tiga pertanyaan utama:
1. Masalah apa yang coba diselesaikan?
2. Apa perubahannya bagi warga?
3. Apa manfaat langsung yang bisa mereka rasakan?
Jika tidak menjawab tiga hal ini, komunikasi pemerintah hanya menjadi arsip kegiatan, bukan informasi publik.
Transformasi: Dari Story of Event ke Story of Impact
Pergeseran inilah yang harus dilakukan humas pemerintah. Agar lebih jelas, berikut ilustrasi sederhana:
Gaya lama:
“Bupati menghadiri sosialisasi pencegahan korupsi di KPK.”
Gaya baru:
“Setelah mengikuti program pencegahan korupsi KPK, ada tiga layanan yang kini lebih cepat, transparan, dan mudah diakses warga.”
Dalam konteks kunjungan pejabat pusat:
Gaya lama:
“Kepala daerah menyambut Menteri X di bandara.”
Gaya baru:
“Kunjungan Menteri X menghasilkan dua keputusan: pembangunan irigasi tahap II dan penambahan anggaran renovasi sekolah di tiga kabupaten.”
Dalam konteks penghargaan:
Gaya lama:
“Gubernur menerima penghargaan inovasi pelayanan publik.”
Gaya baru:
“Penghargaan ini menunjukkan waktu pembuatan akta kelahiran turun dari 7 hari menjadi 1 hari bagi lebih dari 18.000 warga.”
Dan dalam peringatan hari besar:
Gaya lama:
“Kepala daerah memimpin upacara Hari Pahlawan.”
Gaya baru:
“Momentum Hari Pahlawan dimanfaatkan untuk membersihkan 1.200 beasiswa dan bantuan sosial bagi organisasi kepemudaan.”
Di sinilah perbedaannya:
gaya lama menceritakan pejabat,
gaya baru menceritakan manfaat untuk rakyat.
Lihatlah bagaimana Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi, membangun komunikasi publik. Hampir setiap unggahannya fokus pada masalah yang sedang ditangani, solusi yang dikerjakan, dan perubahan yang terlihat.
Mulai dari transparansi anggaran, penataan pasar, pembersihan sungai, penertiban bangunan liar, hingga perbaikan jalan dan ruang publik. Tidak ada foto seremoni yang kosong makna yang ada adalah kerja, perbaikan, dan hasil nyata.
Inilah standar baru komunikasi publik: relevansi dan dampak, bukan dokumentasi.
Humas Harus Berani Mengubah Pol
Era digital menuntut kejujuran dan relevansi. Masyarakat tidak bisa lagi diyakinkan dengan simbol, seremoni, atau foto kegiatan. Mereka ingin bukti. Mereka ingin perbaikan pelayanan publik. Mereka ingin transparansi.
Karena itu humas harus berani mengarahkan pimpinan bahwa publikasi kegiatan semata sudah tidak efektif. Yang dibutuhkan adalah komunikasi berbasis dampak.
Humas Harus Kembali Menjadi Manusia
Humas yang efektif adalah humas yang lebih banyak mendengar, bukan sekadar mengumumkan. Yang mengutamakan perubahan, bukan pencitraan. Yang membangun kepercayaan, bukan sekadar mengisi konten. Kepercayaan publik tidak dibangun oleh kamera, tetapi oleh kerja nyata. Tidak oleh seremoni, tetapi oleh manfaat.
Tidak oleh foto panggung, tetapi oleh kebaikan yang dirasakan warga. Saatnya gaya komunikasi kepala daerah dan humas pemerintah berpindah zaman. Dari dokumentasi seremoni menuju komunikasi yang bermakna, relevan, dan membangun kepercayaan publik. Berani kirim ke bosmu?. (***)



Discussion about this post