Jambiday.com, JAMBI – Pemerintah pusat baru-baru ini menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Tahun 2024, regulasi yang mengatur dukungan pembiayaan pemerintah untuk proyek infrastruktur melalui skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) serta skema pembiayaan lainnya. Aturan ini menjadi turunan dari Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2010 tentang Penjaminan Infrastruktur dalam proyek kerja sama pemerintah dengan badan usaha.
Di atas kertas, PMK 68/2024 tampak menjanjikan. Regulasi ini bertujuan memperkuat kerangka hukum, memberi dukungan fiskal, dan mempercepat pembangunan infrastruktur di Indonesia, termasuk di daerah-daerah seperti Jambi. Skema KPBU diharapkan menjadi solusi modern dalam mengurangi beban APBD serta mempercepat realisasi proyek strategis, misalnya pembangunan jalan khusus batu bara yang kini menjadi sorotan publik di Provinsi Jambi.
Namun, menurut Dr. Noviardi Ferzi, di balik semangat percepatan dan modernisasi kebijakan fiskal tersebut, tersimpan persoalan mendasar: arah pembangunan, tata kelola publik, dan masa depan lingkungan hidup di daerah penghasil sumber daya alam seperti Jambi.
“Secara konseptual, PMK 68 memang dimaksudkan memperkuat kerja sama pemerintah dan swasta. Tapi dalam praktik, skema seperti ini sering berubah menjadi mekanisme legal yang memberi ruang dominan bagi korporasi menguasai proyek publik,” tulisnya.
Ia menyoroti bahwa dalam banyak kasus, pemerintah daerah hanya menjadi pelengkap administratif, sementara risiko keuangan dan sosial justru ditanggung masyarakat. Melalui mekanisme seperti availability payment dan viability gap fund, daerah tetap diwajibkan membayar kompensasi kepada investor, meski pendapatan proyek tak sesuai target.
“Yang disebut sinergi bisa berubah menjadi bentuk penyerahan kedaulatan fiskal kepada kepentingan swasta,” tegas Noviardi.
Masalah lain terletak pada kesiapan daerah. Banyak pemerintah daerah, termasuk Jambi, dinilai belum memiliki kapasitas teknis dan kelembagaan yang cukup untuk mengelola kontrak jangka panjang dalam skema KPBU. Kondisi ini membuat posisi tawar daerah lemah di hadapan korporasi besar.
Dampaknya, proyek-proyek seperti jalan khusus batu bara berisiko lebih menguntungkan sektor industri ekstraktif ketimbang masyarakat lokal. Selain itu, dampak ekologisnya juga tak kecil — deforestasi, polusi udara, dan degradasi lahan pertanian menjadi ancaman nyata di sepanjang jalur tambang.
“Ketika truk-truk batu bara mulai melintas, debu, kebisingan, dan polusi udara akan menjadi keseharian warga. Ironisnya, masyarakat yang menanggung dampak jarang dilibatkan dalam perencanaan,” ungkapnya.
Lebih jauh, Noviardi menilai proyek ini bertentangan dengan arah kebijakan energi global yang kini bergerak menuju transisi energi bersih. Di saat negara lain berinvestasi pada energi terbarukan, Indonesia justru memperkuat infrastruktur batu bara yang pada akhirnya bisa menjadi sunk cost ketika pasar global beralih dari energi fosil.
Ia menegaskan, kebijakan publik tidak seharusnya diukur hanya dari kecepatan pembangunan, tetapi dari sejauh mana ia menciptakan keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan partisipasi masyarakat.
“Jambi tidak butuh percepatan yang membutakan arah, tapi transformasi ekonomi yang berkelanjutan,” tulis Noviardi.
Menurutnya, PMK 68 Tahun 2024 hanya akan bermakna jika benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat, memperkuat sektor produktif, serta menjaga kemandirian fiskal daerah. Jika tidak, kebijakan ini justru menjadi jalan pintas menuju ketimpangan baru, di mana regulasi berfungsi bukan untuk melindungi rakyat, tetapi memuluskan kepentingan segelintir pemodal. (OYI)
Discussion about this post