Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Pengamat)
PRAKTEK rent seeking seakan menjadi budaya korupsi baru di Indonesia negara, tak terkecuali di Jambi. Rent seeking itu sendiri adalah perilaku pejabat publik atau politisi yang hanya melayani dirinya sendiri atau penguasaan-penguasaan sumber-sumber daya yang memikirkan kepentingan pribadi.
Dengan cara mencari celah-celah kebijakan publik atau pengalokasian anggaran dalam proyek-proyek pemerintah demi kepentingan memperkaya diri sendiri. Atau menguntungkan sebagian kelompok tertentu dengan tujuan penguasaan secara ekonomi-politik.
Penelitian Grindle (1989)- dengan menggunakan pendekatan ekonomi politik benign and walfare maximising state menyatakan para pembuat kebijakan dan penyelenggara pemerintah merupakan bagian dari rent seeker (pemburu rente).
Terminologi rent seeking dalam institusi negara merujuk pada perilaku pejabat publik dalam memutuskan alokasi anggaran publik (APBN-APBD). Atau kebijakan yang ditujukan untuk publik dengan motivasi mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok yang berimplikasi merugikan kepentingan publik, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Mengapa perilaku rent seeking itu begitu mudah hadir dalam keseharian kinerja institusi negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif)? Itu tidak lain karena proses dan mekanisme politik yang menyebabkan seseorang hadir menjadi pejabat publik pada institusi-institusi negara tersebut sarat dengan transaction cost yang tinggi.
Di Provinsi Jambi meski jarang yang menyadari satu hal yang harus diwasapadai adalah pembangunan infrastruktur dengan sistem akad multiyears kontrak pelaksanaan pekerjaannya membebani dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) karena anggaran yang teralokasi sangat besar ditiap tahunnya.
Berkaca dari berbagai kasus daerah lain kontrak tahun jamak ini banyak melahirkan masalah hukum. Kasus korupsi didominasi oleh pembangunan infrastruktur diantaranya adalah menggunakan sistem multiyears. Jadi, terdapat motif rent seeking yang kuat dari kepala daerah dalam penganggaran proyek – proyek multi years tersebut.
Oleh karena itu, sebenarnya sistem ini tidak sehat bagi kemampuan fiskal daerah ke depannya. Karena menjadi beban anggaran yang membuat ruang fiskal makin terbatas.
Di Provinsi Jambi, Proyek tahun jamak (multiyears) menelan dana APBD Provinsi Jambi senilai Rp 1,5 triliun. Mega proyek multiyears tersebut meliputi pekerjaan konstruksi jalan dan bangunan gedung di bawah pengelolaan Dinas Pekerjaan Umum dan Permukiman Rakyat.
Khusus untuk jalan akan menghabiskan Rp 723,3 miliar. Di antaranya adalah untuk pekerjaan jalan Talang Pudak-Suak Kandis di Muarojambi; jalan Simpang Pelawan-Sei Salak-Pekan Gedang di Sarolangun dan Jalan Sei-Saren-Senyerang di Tanjung Jabung Barat.
Sedangkan untuk pembangunan gedung bakal menelan Rp 410 miliar, yakni untuk pembangunan stadion olahraga di Pijoan, Muarojambi dan Islamic Center.
Skema pembiayaannya diplot dari APBD Provinsi, tahun pertama di 2022, alokasi anggarannya baru 10 persen, Sedangkan pada tahun kedua akan direncanakan realisasi sebesar 45 persen dan tahap ketiga 45 persen, hingga total 100 persen.
Dari prosentase pendanaan ini saja, kita yang awam bisa membayangkan betapa terbatasnya anggaran pemerintah provinsi Jambi di 2023 dan 2024 mendatang. Pilihan mendanai pembangunan infrastruktur dengan multi years akan menghambat kemandirian fiskal daerah. Kondisi yang tidak efisien tersebut disebabkan beberapa hal.
Akibatnya, meski proyek ini menelan anggaran yang besar, tapi tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi di daerah. Dalam kasus ini pembangunan stadion dan Islamic Centre, bisa kita perkirakan akan kecil sekali dampaknya pada nilai tambah ekonomi warga.
Sebenarnya, pelaksanaan pembangunan dengan sistem multiyears perlu kesepakatan lintas lembaga pemerintahan baik antara legisltaif dan ekesuktif kabupaten/kota dan provinsi bahkan ke kementerian terkait saling berkoordinasi dan harus sinkron.
Disini harus ada kesepahaman tentang apa dan bagaimana metode pembangunan dilakukan. Jangan sampai terjadi mis komunikasi dan mis leading sehingga menjadi jebakan dalam demokrasi yang berujung pada penyalahgunaan anggaran.
Dalam hal ini PMK 194 dan PMK 02 tahun 2011 tentang tata cara pengajuan persetujuan kontrak tahun jamak patut ditelusuri sebagai pedoman semua daerah termasuk kementerian. Hanya saja dari kasus di Jambi pengawasan kementerian bisa dikatakan lemah, untuk sekedar memberi evaluasi.
Parahnya di Jambi, Multiyears terkesan berdasarkan keinginan kepala daerah semata. Bukan hasil kajian atas prioritas rencana pembangunan. Buktinya, apa benar Stadion ratusan milyar merupakan kebutuhan.
Implikasinya kepada kerugian publik karena pastilah publik/rakyat akan mendapatkan barang-barang publik (pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan lain-lain) dengan kualitas dan kuantitas yang di bawah dari seharusnya yang bisa mereka dapatkan.
Praktek Rent Seeking, dapat dengan mudah ditemukan pada melalui pemberian lisensi kepada para pelaku bisnis (seperti lisensi impor, ekspor, atau perizinan tambang dan bisnis lainnya). Dari pemberian lisensi tersebut, sang pejabat publik akan membuka privilese bisnis bagi pelaku-pelaku tertentu dengan mendapatkan fee atau komisi dari perusahaan yang dia endorse.
Selanjutnya, fenomena pembuatan perundang-undangan atau Perda, meski ini fenomena umum, siapa yang ingin terakomodasi kepentingannya untuk mendapatkan dukungan legislasi dan hukum perlu melobi anggota parlemen atau partai politik, yang semua itu harus mengeluarkan transaction cost yang besar.
Terakhir, mungkin sudah menjadi rahasia umum pula bahwa APBD tidak akan mungkin disetujui DPRD kalau di dalamnya tidak ada transaction cost, yang biasanya masuk ke kantong-kantong pribadi mereka.
Semua praktek ini merugikan publik? Sebab, biasanya, kesepakatan antara elite legislatif dan eksekutif tersebut berimplikasi kepada bias nonpublik dalam alokasi anggaran. Misalnya, anggaran untuk fasilitas pejabat atau pengeluraan rutin lainnya yang tidak berimplikasi kepada publik menjadi melambung tinggi dan itu disetujui melalui fenomena saling menguntungkan antara pejabat eksekutif dan para anggota legislatif, untung bagi mereka, namun memiskinkan bagi masyarakat. (***)
.
Discussion about this post