DALAM beberapa waktu terakhir, publik Jambi seperti digiring memasuki arena panjang kontroversi pembangunan. Deretan proyek yang semestinya menjadi kebanggaan daerah. RTLH Putri Pinang Masak, Islamic Centre, Sport Centre Swarna Bhumi, bangunan Ancol depan Rumah Dinas Gubernur, renovasi GOR Kotabaru, hingga terakhir Penataan Kawasan Lapangan Kantor Gubernur. Bukannya tampil sebagai ikon kemajuan, tetapi justru berubah menjadi polemik dan topik warung kopi, grup WhatsApp, dan forum-forum publik yang sarat nada sinis.
Di tengah silang pendapat itu, muncul satu pertanyaan berulang yang tak lagi bisa diabaikan: apa yang sebenarnya terjadi dengan tata kelola di Bidang Cipta Karya PUPR Provinsi Jambi yang dipimpin oleh Nasrul, ST., MT? Mengapa begitu banyak proyek strategis justru melahirkan polemik beruntun?
Sebagai pengamat kebijakan publik, saya melihat fenomena ini bukan sekadar “kesalahan teknis” yang terjadi sesekali, tetapi indikasi dari tata kelola yang terganggu, Bahkan mungkin tidak sehat. Jika kita merujuk pada prinsip good governance versi UNDP (1997), pembangunan yang baik tidak hanya soal kualitas konstruksi, tetapi juga transparansi proses, akuntabilitas keputusan, keluwesan komunikasi publik, dan pelibatan masyarakat. Ketika seluruh prinsip ini terabaikan, ruang publik menjadi subur bagi rumor dan ketidakpercayaan.
Dalam teori kebijakan publik, persepsi masyarakat bukan sekadar efek samping, tetapi bagian dari dampak kebijakan itu sendiri (Dye, 2017). Ketika warga merasa tidak dilibatkan, tidak dijelaskan, atau bahkan tidak dianggap, maka proyek apa pun betapapun baik niatnya akan dipandang dengan kacamata curiga.
Bahkan di tingkat nasional, fenomena ini bukan barang baru. Kajian Bappenas (2023) menyebutkan 62% polemik proyek infrastruktur daerah dipicu oleh lemahnya perencanaan dan komunikasi publik, bukan kegagalan konstruksi. Artinya, masalah sering lahir bukan dari beton, tetapi dari gagalnya pemerintah daerah mengelola ekspektasi dan membangun kepercayaan publik.
Di sisi lain, teori reputational bureaucracy (Carpenter, 2010) menekankan bahwa reputasi lembaga publik sangat ditentukan oleh kinerja unit-unit teknis yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Ketika satu bidang dianggap bermasalah, maka citra negatif itu otomatis mengalir naik, membebani kepala dinas hingga kepala daerah. Di Jambi, kita kini melihat pola yang sama: polemik Cipta Karya mulai mengguncang persepsi publik terhadap institusi PUPR bahkan kepemimpinan Gubernur. Reputasi publik ibarat kaca: sekali retak, sulit kembali utuh.
Dalam perspektif manajemen proyek modern, kerangka PMBOK mengingatkan bahwa keberhasilan proyek bertumpu pada tiga hal: kejelasan perencanaan (scope), pelibatan pemangku kepentingan (stakeholders), dan komunikasi risiko (risk communication). Ketiga pilar ini tampaknya belum dikelola optimal, sehingga ruang kosong informasi cepat diisi spekulasi dan ketidakpercayaan.
Masyarakat Jambi berhak bertanya:
Apakah masalah-masalah ini muncul karena beban kerja yang terlalu besar?
Manajemen internal yang tidak tertata?
Atau justru kapasitas kepemimpinan teknis yang tidak memadai menghadapi kompleksitas proyek-proyek besar?
Dalam kerangka kepemimpinan publik modern (Denhardt & Denhardt, 2015), jabatan strategis harus diisi oleh pejabat yang adaptif, komunikatif, dan sensitif terhadap dinamika sosial. Ketika proyek besar dikelola dengan pola lama yang tertutup dan defensif, hasilnya sudah bisa ditebak: polemik demi polemik yang sebetulnya bisa dicegah.
Karena itu, evaluasi menyeluruh terhadap Bidang Cipta Karya bukan lagi sekadar opsi—melainkan keharusan mendesak. Evaluasi bukan hukuman. Ia adalah upaya korektif agar tata kelola pembangunan tidak terseret ke jurang distrust yang semakin dalam. Kadis PUPR dan Gubernur Jambi punya tanggung jawab moral memastikan bahwa pejabat strategis benar-benar memiliki kompetensi, integritas, dan kapasitas manajerial yang dibutuhkan.
Pada akhirnya, pembangunan publik tidak boleh hanya diukur dari bangunan yang berdiri, tetapi dari kepercayaan masyarakat terhadap proses yang melahirkannya. Tanpa kepercayaan, bangunan megah sekalipun tidak akan pernah menjadi simbol kemajuan; ia hanya menjadi monumen dari tata kelola yang gagal.
Ini saatnya pemerintah daerah benar-benar mendengar alarm itu. Sebelum retaknya kepercayaan publik berubah menjadi krisis legitimasi yang jauh lebih sulit diperbaiki. (***)





Discussion about this post