Oleh: Rayi Retriananda Maulana, S.I.P
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung
JAUH sebelum terbentuknya negara modern, desa merupakan sebuah entitas sosial yang memiliki identitas dan kearifan lokal, adat atau pranata lokal yang beraneka ragam, sebuah wilayah yang menganut system pemerintahan yang demokratis dan memiliki otonomi khas atau yang disebut sebagai self governing community.
Desa, kerajaan maupun negara adalah bentuk organisasi yang memiliki perbedaan dalam lingkupnya, namun memiliki kesamaan dari segi objek dan subjeknya yaitu rakyat. Jika diamati secara garis waktu sejak zaman Orde Baru sampai dengan reformasi, obyektifikasi desa dalam bentuk regulasi berkenaan dengan hal ini pemerintah telah empat kali melakukan peubahan undang-undang yang berfungsi untuk mengatur tentang desa, yaitu UU No. 5 Tahun 1979, UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004, dan terakhir adalah UU No. 6 Tahun 2014.
Keempat perubahan undang-undang tersebut, konsep terhadap suatu desa diberikan atas definisi yang beraneka ragam, meskipun secara subtansial keempat definisi tersebut tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Secara normative konsekuensi atas perbedaan definisi desa akan sangat berpengaruh pada wewenang yang dimiliki oleh desa.
Dengan disahkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa atau yang dikenal dengan sebutan UU Desa oleh Pemerintah Republik Indonesia hal ini dinaggap sebagai fase baru dalam penataan, desentralisasi dan pembagian kekuasaan Desa.
Terbitnya UU Desa ini juga memberikan arah baru dan dianggap sebagai pengakuan negara atas eksistensi Desa sebagai sebuah wilayah otonom, baik desa sebagai sebuah kesatuan hukum maupun desa sebagai kesatuan adat di Nusantara. Selanjutnya sebagai dasar dan petunjuk hukum implementasi UU Desa, Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa.
UU Desa ini dikatakan oleh banyak kalangan sebagai UU Desa yang terlengkap dari sebelumnya. Undang-undang ini telah mengakomodasi banyak hal dari berbagai bidang yang bertujuan untuk melindungi dan memberdayakan desa agar menjadi mandiri, demokratis, kuat dan maju. Dalam undang-undang ini kedudukan desa ditempatkan pada posisi lebih terhormat dan diakui sebagai subyek yang berprakarsa. Selain itu, dalam penafsiran undang-undang tersebut juga ditegaskan bahwa “mengingat semakin kuatnya kedudukan, kekuasaan, dan keuangan desa, penyelenggaraan pemerintahan desa diharapkan semakin bertanggung jawab dengan dukungan sistem pengawasan dan keseimbangan antar pemerintah desa dan lembaga desa”.
Artinya undang-undang ini pada hakekatnya memberikan kepercayaan, wewenang, dan tanggung jawab kepada semua pihak, yaitu negara dan pemerintah daerah. Komitmen negara untuk merekognisi atau mengakui dan melindungi seluruh desa menjadi salah satu kekuatan UU No. 6 Tahun 2014 guna melaksanakan konstitusi pasal 18 B UUD 1945. Desa di seluruh Indonesia tidak saja diakui secara legal-formal oleh negara, tetapi juga diberikan jaminan sumber pendapatan yang pasti yang berasal dari APBN, APBD, dan sumber pendapatan asli desa itu sendiri. Mencermati ketentuan yang tercantum dalam UU Desa di atas, sekilas terlihat sangat ideal dan mulia. Tetapi jika ditilik kembali dari proses hadirnya UU Desa ini tidak lepas dari desakan “Parade Nusantara”, lho kok bisa?
Kalangan LSM sebagai kelompok penekan yang sudah dipastikan memobilisasi perangkat desa, maka UU tersebut cenderung bersifat segmented, yang artinya hanya menguntungkan segmen-segmen tertentu, khususnya kepala desa dan perangkat desa, Partai politik dan LSM. Dalam UU Desa masyarakat tetap menjadi obyek ketimbang menjadi subyek. Pendekatan kapitalistik dengan cara menebar uang ke desa dalam UU tersebut, dapat dikatakan mirip dengan politik uang (money politics) yang secara terang-terangan dilegalkan oleh negara.
Pengkajian terhadap Undang-Undang Desa merupakan keharusan dan tidak bisa dipungkiri Undang-Undang Desa ini juga berpotensi menimbulkan beragam permasalahan sosial-budaya baru serta cenderung bersifat counter-productive terhadap cita-cita membangun desa dan kesejahteraan warga perdesaan. Salah satu indikator yang menjadi perhatian adalah UU Desa ini bukan affirmative policy yang memposisikan seluruh rakyat desa sebagai pihak pertama yang akan dibela dan diberdayakan. Seharusnya sebagai sebuah produk hukum yang baik, UU Desa turut menentukan angka minimal, misalnya 50% dari total anggaran desa, diwajibkan dialokasikan untuk membangun infrastruktur publik pedesaan (jalan di sekitar desa/kampung, pemeliharaan parit di lingkungan masyarakat, tempat pemakaman umum desa, perpustakaan desa, membangun gedung sekolah TK/SD/SMP, puskesmas, merawat saluran irigasi desa, meningkatkan sanitasi kampung nelayan, dll.).
Ketidakmunculan angka afirmatif dalam UU Desa ini patut di antisipasi, jika lalai maka yang terjadi adalah penyimpangan keuangan desa oleh aparatur pemerintahan desa (kepala desa, perangkat desa dan anggota-anggota Badan Permusyawaratan Desa) atau pihak ketiga (rent-seekers/para pemburu rente). Dengan demikian walaupun uu Desa ini telah diperbarui masih terdapat suatu kelemahan pokok, yakni anggaran desa dihabiskan atau dihambur-hamburkan, misalnya untuk kegiatan upacara adat yang terlalu sering dilakukan, dikorupsi aparatur desa, untuk diboroskan dengan membeli mobil atau sepeda motor dinas; untuk “studi banding”, atau untuk “foya-foya”.
Banyak sekali perubahan mendasar dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, mulai dari pengelolaan keuangan desa, pembagian kekuasaan politik desa, pengelolaan sumber daya dan strategi pembangunan desa-desa di Indonesia. Perubahan-perubahan itu nampaknya tidak mudah untuk disinkronisasikan dengan realitas masyarakat pedesaan terkini dan berpotensi menimbulkan permasalahan baru dalam kehidupan sosial-budaya. Filosofis keanekaragaman, perlindungan, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat, sebenarnya sudah menjadi cita hukum politik hukum pemerintahan desa dalam UUD 1945 (sebelum dan sesudah perubahan). Tetapi ide dasar pluralisme hukum dengan penempatan desa sebagai desa adat (self governing community) atau desa otonom (local self government), maupun desa administratif (local state government), secara bergantian berubah-ubah seiring dengan keberlakuan UU organiknya.
Sebagai produk hukum, UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa memuat kebijakan progresif dan strategis untuk kemajuan dan pembangunan desa. Undang-undang tersebut juga menghormati keberadaan desa dan peran lembaga desa, serta secara tegas mengancam akan menjatuhkan sanksi kepada kepala desa yang tidak memenuhi kewajibannya. Sanksi dapat berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap. Hal ini tentunya dinilai positif untuk mendorong kinerja dan kedisiplinan pemerintah desa.
Sedangkan kekurangan atau kelemahan dari undang-undang ini adalah pengertian desa adat yang berbeda dengan pengertian masyarakat desa adat itu sendiri. Jika tidak segera diatasi, perbedaan ini bisa berdampak di masa yang akan datang. Dana yang dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan setiap desa yang dialokasikan dinilai cukup sedikit setiap tahun hal tersebut tentunya juga dapat menjadi masalah jika tidak diatasi secara optimal. Kemudian Undang-Undang Desa juga tidak secara khusus membahas persentase partisipasi perempuan sebagai kader desa minimal 30%. Selain itu, bagian Sumber Daya Manusia (SDM) di desa belum siap untuk mengimplementasikan Undang-Undang desa ini, dan tentunya akan berdampak pada tata kelola pemerintahan desa itu sendiri. (***)
Discussion about this post