SYUKUR patut dilayangkan kepada Titi Anggraini dan kawan – kawan dari Perludem. Berkat gugatan uji materiilnya yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK), kegalauan jajaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) pasca-Pilkada usai kini menemukan titik terang. Selama ini, eksistensi KPU dan Bawaslu kerap dinilai mubazir begitu tahapan pemilihan rampung. Kegiatan mereka sebatas monitoring, evaluasi, atau inisiatif personal seperti mendatangi sekolah untuk mengedukasi pemilu. Namun, putusan MK yang memisahkan Pemilu nasional dan daerah ini bagaikan angin segar, bagi eksistensi lembaga penyelenggara.
Keputusan MK yang mengusulkan jarak pelaksanaan Pemilu nasional dan daerah dipisah paling lama 2 tahun 6 bulan merupakan terobosan krusial. Pemisahan ini tidak hanya berdampak pada efisiensi kerja penyelenggara Pemilu, tetapi juga pada kualitas demokrasi itu sendiri. Sebelumnya, penyelenggaraan pemilu serentak dengan skenario “lima kotak” membebani KPU dan Bawaslu dengan kompleksitas dan volume kerja yang luar biasa. Tahapan yang berdekatan membuat mereka kesulitan melakukan evaluasi mendalam dan persiapan yang matang untuk kontestasi berikutnya. Dengan adanya jeda waktu, KPU dan Bawaslu memiliki ruang untuk meningkatkan kapasitas dan profesionalisme, merumuskan regulasi yang lebih jelas, dan melakukan sosialisasi yang lebih efektif. Ini juga akan meringankan beban kerja, yang pada akhirnya dapat menjadi evaluasi positif terhadap partisipasi pemilih yang mungkin sebelumnya minim karena kejenuhan.
Pemisahan Pemilu ini membawa dampak positif yang signifikan bagi berbagai elemen demokrasi. Bagi penyelenggara Pemilu, beban kerja yang ekstrem seperti pada Pemilu 2019, yang bahkan menyebabkan banyaknya petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) sakit atau meninggal dunia, dapat diminimalisir. Studi oleh Hadar Nafis Gumay (2021) menunjukkan bahwa pemilu serentak menimbulkan “beban kerumitan dan kompleksitas yang berpengaruh kepada waktu dan kompleksitas manajemen pemilu,” serta “kerumitan yang dihadapi oleh pemilih akibat terlalu banyaknya surat suara.” Pemisahan ini akan memungkinkan perencanaan logistik dan sumber daya manusia yang lebih matang, meningkatkan akurasi data, dan mengurangi potensi kesalahan teknis yang sering terjadi akibat tekanan waktu.
Seperti yang diungkapkan dalam Jurnal Konstitusi (2021), “Seharusnya perlu dilakukan kajian ulang terkait model pemilu untuk kedepannya” dan “pelaksanaan pemilu serentak ini malah memperlemah posisi presiden terhadap harmonisasi pemerintahan serta agenda pembangunan.”
Bagi pemilih, jeda waktu antara Pemilu nasional dan daerah akan memberikan kesempatan lebih luas untuk mencerna informasi. Masyarakat yang sebelumnya mengalami kejenuhan akibat kontestasi politik yang berdekatan, kini memiliki kesempatan lebih untuk mengenali calon secara lebih mendalam, karena isu daerah tidak lagi tenggelam oleh isu nasional. Ini memungkinkan pemilih untuk lebih fokus pada visi, misi, dan rekam jejak calon kepala daerah serta anggota legislatif di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Arief Hidayat turut menggarisbawahi bagaimana Pemilu yang berdekatan membuat masyarakat punya waktu sempit menilai kinerja pemerintahan dan berimplikasi pada stabilitas partai politik.
Bagi partai politik, putusan ini juga membawa angin segar. Pemisahan pemilu memungkinkan partai memiliki waktu cukup untuk menyiapkan kader yang kompeten dan merekrut calon anggota legislatif di tiga level sekaligus, yang sebelumnya membuka lebar peluang rekrutmen berbasis transaksional.
Ketua Majelis Pertimbangan Pusat Partai Keadilan Sejahtera Mulyanto bahkan mengatakan putusan MK ini meringankan beban partai untuk berkontestasi, memungkinkan mereka lebih fokus membekali calon dengan penuh kesiapan. Dampak positifnya juga dirasakan oleh pemilih dan penyelenggara, memungkinkan mereka untuk lebih fokus dan menghindari kejenuhan. Jeda yang lebih panjang akan mendorong partai untuk membangun strategi yang lebih berkelanjutan, bukan sekadar respons jangka pendek terhadap jadwal pemilu yang padat.
Meskipun putusan MK ini disambut baik, tantangan besar menanti. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum membahas revisi Undang-Undang Pemilu dan undang-undang terkait lainnya, bahkan revisi UU Pemilu baru masuk Prolegnas 2026. Kecepatan pembahasan ini menjadi kunci. KPU dan Bawaslu, sebagai pihak yang paling merasakan dampak langsung dari putusan ini, harus mengambil peran proaktif dalam mengawal proses legislasi. Mereka bisa memberikan rekomendasi teknis, mengedukasi publik dan pemangku kepentingan, serta berkolaborasi dengan akademisi dan organisasi masyarakat sipil untuk memperkuat desakan kepada pembuat undang-undang. Kegalauan yang sempat menyelimuti jajaran penyelenggara pemilu kini bisa diubah menjadi optimisme dan semangat untuk menata masa depan demokrasi Indonesia yang lebih berkualitas. Titi Anggraini dari Perludem dan kawan – kawan telah membuka jalan. Kini saatnya KPU dan Bawaslu, dengan dukungan semua pihak, memastikan jalan itu dilewati dengan cermat dan tepat. (***)
Discussion about this post