Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Peneliti LKPR Riset and Consulting)
FENOMENA penundaan Pemilu menjadi gejala kronis dari melemahnya pemaknaan rakyat dalam demokrasi Indonesia. Ibarat lagu wacana ini sebuah nyanyian sumbang demokrasi tentang makin tak ada harganya status dan hak-hak rakyat oleh oligarki dengan negosisasi kekuasaan yang manipulatif.
Wacana perpanjangan kekuasaan yang terus digaungkan dalam berbagai bentuk mencerminkan ketakutan dan akal-akalan Pemerintah pada saat ini untuk menghindari pergantian kekuasaan pada Pemilu 2024 nanti.
Bisa dikatakan penguasa sudah lebih duluan mengalami post power syndrome (sindrom pasca kekuasaan), sehingga tega mengkhianati amanat reformasi untuk membatasi kekuasaan.
Hari ini, mau tak mau harus kita katakan eksistensi rakyat dalam pikiran elite terus memudar, sebagai pemberi mandat mereka tak lagi dipandang penting. Buktinya, elit ingin terus berkuasa tanpa harus melalui pemilu, menunda pemilu berarti elit ingin berkuasa tanpa mandat rakyat.
Wacana penundaan Pemilu, selain memunggungi konstitusi, juga memperlihatkan arah orientasi antagonistik antara rakyat dan elite. Nama rakyat dikapitalisasi untuk menggemakan kepentingan elite sekaligus dibiarkan terjerumus dalam lembah rivalitas mempertahankan hari-hari hidupnya dari berbagai ancaman krisis, persis di tengah pesta pora elite menggoreng kehendak memperpanjang kekuasaan.
Padahal idealnya upaya pencapaian tujuan itu bisa dengan koersif atau kewenangan yang mendapatkan legitimasi rakyat. Rakyat menjadi penting karena kekuatannya bisa menurunkan kekuasaan.
Dalam negara demokrasi Pemilu merupakan sebagai syarat utama dari terciptanya sebuah tatanan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan (representative government). Karena dengan pemilihan umum, masyarakat secara individu memiliki hak dipilih sebagai pemimpin atau wakil rakyat maupun memilih pemimpin dan wakilnya di lembaga legislatif. Proses inilah yang ingin ditiadakan oleh mereka ingin menunda pemilu.
Dalam kajian tentang negara, Thomas Hobbes menyebutkan terbentuknya negara karena adanya perjanjian (covenant) antara pemerintah dan rakyat dalam menjalankan organisasi bernama negara untuk mewujudkan kepentingan bersama. Perjanjian ini biasa diwujudkan dalam bentuk pemilu.
Dalam perspektif ini, rakyat sejatinya tidak menyerahkan kedaulatannya pada elite (negara). Namun, para elite hanya merepresentasikan kepentingan rakyat untuk diperjuangkan bagi kepentingan bersama.
Rakyat tetap memiliki kedaulatan penuh untuk mengawasi termasuk menagih dan mengadili sikap dan pilihan politik pemerintah jika hal tersebut bertentangan dengan isi kontrak. Posisi rakyat di sini memiliki nilai sentral dan substantif dalam perjanjian, kesepakatan, dan dalam aktualisasi berbagai kehendak politik negara.
Apa yang terlihat saat ini, makna rakyat seolah mengalami pengerdilan. Dalam demokrasi kontemporer yang mengedepankan logika transaksional dan materialistik, posisi rakyat kerap diinstrumentalisasi sebagai subjek komoditifikasi politik untuk memperlancar agenda kekuasaan segelintir orang.
Rakyat hanya menjadi variabel pelengkap dari berbagai sikap dan kebijakan sekelompok elite agar mereka tidak kehilangan legitimasi di hadapan prinsip dan nilai demokrasi dan warga masyarakat. Kenyataan ini terus berlanjut dan menjadi kerikil bagi perkembangan demokrasi saat ini karena posisi rakyat hanya menjadi reservoir dari organisme kekuasaan.
Akibatnya yang terjadi kini rakyat terombang-ambing mendefinisikan posisi mereka di tengah isu penundaan pemilu dan kebutuhan dasar minyak goreng yang kian langka serta harga pangan yang kian mahal.
Jika berlanjut usaha ini akan melahirkan potensi dampak yang ditimbulkan, berupa keributan (chaos) di masyarakat. Sejarah mengajarkan pada kita, ketika rakyat terus ditekan dan ditakut-takuti, mereka akan tiba pada satu titik saat mereka melawan balik, sehingga bisa terjadi chaos besar.
Sementara itu, elite terus memompa berbagai dalil, argumen ke tengah publik dan mengerahkan pendukung artifisialnya demi untuk menangkis resistensi publik dari berbagai isu dan kebijakan yang mereka gulirkan di tengah masyarakat dari ruang-ruang gelap negosiasi politik. Jika penundaan pemilu terjadi, maka sesungguhnya Demokrasi Indonesia telah hilang arah. (***)
Discussion about this post