Oleh: Nanda Pratama
Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Universitas Muhammadiyah Jambi
BELAKANGAN ini, media massa diramaikan oleh berita mengenai PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) daerah-daerah di Provinsi Jambi. Hasil rilis BPS Provinsi Jambi menunjukkan bahwa daerah-daerah seperti Sungai Penuh, Kerinci, dan Tebo memiliki PDRB yang relatif rendah.
Hal ini telah menjadi justifikasi bagi banyak orang untuk menyebut daerah-daerah tersebut sebagai daerah miskin. Namun, apakah benar PDRB adalah satu-satunya indikator yang memadai untuk menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat atau daerah?
Jika kita hanya memandang PDRB sebagai satu-satunya rujukan, kita mungkin dapat membuat asumsi yang kurang tepat. Bayangkan jika ada satu individu kaya yang memutuskan untuk pindah ke Sungai Penuh. Ini mungkin akan membuat PDRB Sungai Penuh melonjak tajam, namun apakah hal ini secara otomatis berarti daerah tersebut bebas dari kemiskinan?
Mari kita perhatikan data laju pertumbuhan ekonomi. Kabupaten Tebo menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan, mencapai 2 persen, sedangkan Tanjung Jabung Timur, Merangin, dan Sarolangun hanya mencatat pertumbuhan 0, sekian persen. Kerinci dan Sungai Penuh juga memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan tiga daerah tersebut.
Tentu saja, data persentase kemiskinan yang dirilis oleh BPS juga memberikan gambaran yang berbeda. Sungai Penuh memiliki persentase penduduk miskin yang relatif rendah, hanya sekitar 2.97 persen, sementara Tanjung Jabung Timur mencapai 10.91 persen dan Tanjung Jabung Barat 10 persen. Data ketimpangan pendapatan daerah juga menunjukkan bahwa Sungai Penuh, Kerinci, dan Tebo masih memiliki ketimpangan yang lebih baik dibandingkan dengan Kota Jambi, Bungo, dan Merangin.
Dari semua data ini, kita dapat berpendapat bahwa terdapat beberapa anomali jika Kabupaten Kerinci, Sungai Penuh, dan Tebo dianggap sebagai daerah termiskin berdasarkan PDRB mereka. Ini menggugah pertanyaan serius: apakah PDRB benar-benar indikator yang memadai untuk mengukur kemiskinan?
Jika kita melihat lebih jauh, ada hasil riset yang menarik yang bisa kita jadikan landasan. Ricard Easterlin dari Universitas Pennsylvania menemukan bahwa kenaikan GDP (Gross Domestic Product) tidak berkorelasi kuat dengan tingkat kebahagiaan, karena kenaikan GDP berkorelasi negatif dengan lingkungan, kesehatan, dan pemerataan. Dengan kata lain, hanya melihat pendapatan belum cukup untuk menilai kesejahteraan suatu daerah.
Mari kita juga perhatikan struktur pengeluaran PDRB. Beberapa daerah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi seperti Muaro Jambi dan Batanghari didominasi oleh ekspor barang dan jasa. Namun, kita harus bertanya apakah masyarakat setempat benar-benar mendapatkan manfaat langsung dari struktur ekspor ini. Ataukah justru lingkungan semakin rusak, kesehatan semakin buruk, dan ketimpangan semakin parah?
Ketika kita menyadari bahwa beberapa daerah dengan pertumbuhan ekonomi tinggi didominasi oleh sektor ekspor seperti pertambangan dan perkebunan, kita harus mempertanyakan apakah sektor-sektor ini dimiliki oleh warga setempat ataukah oleh perusahaan besar dari luar daerah. Hal ini dapat memengaruhi sejauh mana pertumbuhan ekonomi berdampak positif pada masyarakat lokal.
Jadi, kita harus berhati-hati dalam menggunakan PDRB sebagai satu-satunya referensi dalam menentukan tingkat kemiskinan suatu daerah. Indikator lain seperti indeks pembangunan manusia (IPM), tingkat pendidikan, dan akses ke layanan kesehatan juga harus dipertimbangkan. Demi kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya, kita perlu memandang lebih jauh daripada hanya angka-angka ekonomi. (***)
Discussion about this post