Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Pengamat)
BUKAN hanya kestabilan harga, pemerintah juga perlu memperhatikan daya beli masyarakat. Selama ini ada kesan kestabilan harga menjadi satu-satunya yang menentukan keterjangkauan masyarakat terhadap komoditas pangan. Namun, dalam situasi akhir Pandemi ini perlu diperhatikan daya beli warga yang menurun, ini penting karena mempengaruhi keterjangkauan pangan oleh masyarakat.
Bicara indikator ekonomi, rendahnya inflasi dinilai sebagai keberhasilan mengendalikan harga, meski sebenarnya inflasi yang rendah juga mengambarkan terjadi penurunan daya beli masyarakat.
Dalam hal ini Inflasi dapat dimaknai seperti dua sisi berbeda dari mata uang yang sama. Pertama, inflasi rendah bisa dimaknai sebagai keberhasilan pemerintah dan BI dalam menjaga stabilitas harga. Namun, yang Kedua, inflasi rendah juga dapat terjadi akibat penurunan daya beli masyarakat karena kondisi perekonomian yang belum benar-benar pulih.
Dalam kacamata inflasi, penurunan daya beli karena harga barang merangkak naik, sehingga nilai uang makin berkurang. Ketika inflasi tinggi, biasanya tidak banyak konsumsi yang dilakukan, pilihan logisnya masyarakat akan berhemat.
Selain itu daya beli yang rendah juga dipengaruhi oleh deflasi, berupa kecendrungan penurunan harga. Ketika harga suatu komoditas turun menandakan permintaan yang rendah, masyarakat tak mampu membeli. Pada pemahaman ini kita tahu, penurunan daya beli bisa disebabkan inflasi dan deflasi. Harga tinggi atau inflasi membuat barang tak terbeli, akhirnya akan memicu deflasi, titik dimana ada penurunan harga setelah inflasi karena daya beli masyarakat yang melemah.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) Umum Nasional pada Februari 2022 turun 0,01 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan indeks harga grosir itu terjadi pada sektor pertanian sebesar 1,14 persen.
Penyebab utama dari (penurunan) IHPB ini adalah terkait dengan telur ayam ras, ayam rasnya sendiri juga mengalami penurunan harga, cabe rawit dan kubis atau kol juga turun.
Indeks tersebut menunjukkan deflasi pada jangka waktu yang sama yaitu sejumlah komoditas seperti daging ayam, daging sapi, bawang putih, bawang merah, dan cabai merah.
Melihat kondisi pasar, deflasi harga pangan disebabkan oleh menurunnya daya beli masyarakat di awal tahun dan jelang bulan Ramadhan 2022.
Pemulihan masa Pandemi masih mempengaruhi mobilitas dan kegiatan ekonomi dan ini berdampak pada pendapatan yang merupakan sumber daya beli masyarakat.
Dalam jangka panjang, hal ini dapat mempengaruhi konsumsi nutrisi. Masyarakat cenderung memilih makanan yang mengenyangkan dengan harga yang lebih murah, tapi kenyang belum tentu mencukupi kebutuhan nutrisi yang diperlukan tubuh. Jadi, hati – hati, penurunan daya beli bisa membuat masyarakat kurang gizi.
Masalah malnutrisi ini, berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2021, prevalensi stunting saat ini masih berada pada angka 24,4 persen atau 5,33 juta Balita. Padahal, Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul dan berkualitas merupakan syarat untuk membawa Indonesia Maju pada tahun 2045. Namun, penyiapan SDM unggul masih menghadapi tantangan bernama “stunting”.
Sesungguhnya, prevalensi stunting ini telah mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya. Pandemi Covid-19 yang terjadi memasuki tahun ketiga ini membuat Balita yang mengalami gizi buruk dan berpotensi stunting meningkat. Sehingga, upaya mendasar dalam menekan angka kurang gizi ini harus berawal pada perbaikan ekonomi yang bsia meningkatkan daya beli masyarakat. (***)
Discussion about this post