“KEPEMIMPINAN bukan hanya soal keputusan, tapi juga soal diksi dan intonasi.” Ungkapan ini tepat untuk menilai gaya komunikasi para pemimpin dunia saat ini. Panggung politik global tidak hanya diwarnai adu strategi, tetapi juga adu narasi dan cara bicara. Di era digital, gaya berbicara seorang pemimpin bisa memicu simpati, kontroversi, bahkan revolusi.
Mari kita telaah lima tokoh dunia dengan gaya public speaking yang sangat kontras: Ayatollah Ali Khamenei, Donald Trump, Xi Jinping, Vladimir Putin, Prabowo Subianto, dan Gibran Rakabuming Raka.
Khamenei: Retoris Tradisional Religious
Ayatollah Ali Khamenei bukan orator populis. Ia adalah pemimpin spiritual yang membangun pengaruh melalui ketenangan, konsistensi narasi, dan referensi agama.
Gaya bicaranya tenang, namun penuh kekuatan moral. Ia tidak membakar semangat dengan teriakan, tetapi mengendapkan pesan religious yang mempengaruhi umat.
Dalam pidato-pidatonya, Khamenei lebih mirip murabbi (pendidik ruhani) ketimbang politisi. Ia mengutip Al-Qur’an, riwayat para imam, dan menyampaikan visi Iran dengan nuansa hikmah.
Tidak ada mimik liar, tidak ada slogan bombastis. Suaranya lembut tapi tegas, membawa ideologi besar Iran. Ia jarang bicara dengan gaya populis atau humor/cerita, tetapi konsisten dengan simbolisme keagamaan.
Ritme bicaranya pelan, stabil, penuh penekanan pada kalimat penting, penuh karisma dan nuansa khidmat. Gestur tubuh minim, duduk dengan postur tenang, tidak agresif, memperkuat citra pemimpin spiritual yang penuh hikmah.
Emosinya terkontrol, dan menggunakan intonasi moralistik yang kuat, membuat audience merasakan keteguhan prinsip bukan manipulasi emosional. Gaya ini efektif bagi komunitas yang menghargai ketundukan moral dan kontemplasi ideologis.
Donald Trump: Populis Provokatif dan Showman
Donald Trump justru menjadi antitesis gaya Khamenei. Ia adalah showman, bukan negarawan klasik. Gaya bicaranya agresif, penuh retorika populis, dan sangat teatrikal. Trump memahami bahwa di dunia media sosial, kontroversi adalah mata uang popularitas.
Dengan repetisi frasa seperti “Make America Great Again”, Trump menciptakan hipnotis massa. Ia bukan pembicara yang memukau intelektual, tapi memukau rakyat biasa yang merasa tersingkir. Trump adalah produk dari dunia yang menyukai kecepatan, kejutan, dan kehebohan.
Gaya percakapannya kasual: menghindari bahasa diplomatis, santai, dan blak-blakan bahkan konfrontatif. Gestur tubuhnya agresif, ekspresi tangan terbuka lebar, menunjuk dan sering mendominasi panggung. Mimik wajahnya dinamis, sering memperlihatkan emosi: marah atau senyum sinis.
Gaya ini cocok untuk mempengaruhi massa, branding kuat dan ikonik, tetapi tidak cocok untuk diplomasi dan lingkungan intelektual.
Xi Jinping: Strategik dan Autoritarian Berwibawa
Xi Jinping adalah representasi gaya formal otoriter: sangat formal, diplomatis, penuh kendali, minim improvisasi. Ia berpidato dengan intonasi datar tapi terstruktur, menyampaikan pesan yang konsisten tentang kejayaan China dan stabilitas nasional. Xi tidak berpidato untuk disukai, tetapi untuk mengokohkan sistem. Ia menampilkan diri sebagai tokoh yang tenang, bijaksana dan pemersatu.
Teknik nonverbal: minim gestur dan ekspresi. Posturnya kaku dan stabil, mata fokus, suara rendah tapi tegas. Tidak ada ekspresi spontan dan sangat terskenario.
Gaya Xi memberikan kesan stabilitas dan kredibilitas tinggi, efektif untuk forum formal dan internasional, namun cenderung kaku dan membosankan tidak menyentuh akar rumput.
Vladimir Putin: Dingin, Tertata dan Penuh Agenda
Putin adalah kebalikan dari pemimpin populis, Ia tidak pernah dramatis. Setiap ucapannya terasa seperti laporan dinas intelejen. Diksinya tajam, artikulasinya jelas dan struktur kalimatnya logis. Setiap kalimat putin menyimpan signal geopolitik, ancaman terselubung dan kendali atas keamanan nasional.
Saat berbicara, Intonasinya datar tapi penuh tekanan, volumenya sedang, jarang /tidak pernah berteriak. Artikulasinya sangat jelas, menunjukkan ketegasan dan tidak ada keraguan. Ritmenya lambat dan stabil serta sering menggunakan jeda agak panjang, menimbulkan efek psikologis “mengendalikan waktu” dan menciptakan ketegangan.
Untuk body language; posturnya tegak, Gerakan tangan terbatas, tatapan mata tajam penuh analisis, dan jarang memberikan ekspresi wajah berlebihan, sehingga memberi kesan kekuasaan, dan ancaman yang tersirat, tenang tapi mematikan.
Prabowo: Tegas dan Nasionalistik
Di Indonesia, Prabowo Subianto menempati posisi unik. Ia sering tampil dengan emosi tinggi, gaya militeristik, dan membangun narasi tentang bangsa yang “terjajah”. Prabowo memadukan dramatisasi dan nasionalisme dalam satu paket retorika. Tapi kadang terjadi blunder saat menggunakan diksi yang kurang tepat dan ketidakkonsistenan atas pernyataan dan perbuatan.
Pidatonya membakar, nadanya kadang menekan, kadang memohon, kadang juga santai disertai humor segar. Di tengah publik yang rindu pada pemimpin kuat, gaya teatrikal Prabowo terasa heroik. Namun, bagi sebagian kalangan, retorika menciptakan kesan berlebihan.
Teknik nonverbal: pidato berdiri tegap, tangan sering mengepal atau menunjuk, kadang berteriak untuk penekanan. Gaya ini cocok untuk kampanye, namun kurang cocok untuk pidato diplomatis.
Gibran: Minimalis dan Datar
Berbeda dengan kelima tokoh sebelumnya, Gibran Rakabuming Raka tampil sebagai wajah baru. Ia tak banyak bicara. Kalimatnya pendek, intonasinya datar, ekspresinya nyaris tanpa emosi. Gibran memunculkan gaya “deadpan” ala Gen Z — lebih banyak kode, lebih sedikit diksi.
Teknik nonverbal: minim gerakan tubuh, mimik datar, intonasi rendah. Interaksi dengan media sering bersifat sindir halus atau diam.
Bagi audiens muda, gaya ini dianggap “cool”. Tapi bagi masyarakat tradisional, ini dianggap kurang karismatik, tidak empatik bahkan apatis. Inilah tantangan Gibran: bagaimana menyampaikan kekuatan dalam kesunyian ekspresi.
Mengapa Gaya Bicara Penting?
Gaya bicara bukan sekadar bentuk komunikasi, tapi citra kepemimpinan. Ia membentuk persepsi, membangun ikatan psikologis dengan rakyat, dan bisa menjadi strategi untuk mempertahankan kekuasaan. Bahkan, dalam sejarah, pidato bisa lebih membekas dari kebijakan.
Ali Khamenei menguasai panggung lewat kelembutan dan nilai spiritual; Trump dengan agresifitas; Xi dengan kontrol; Putin dengan ketenangan; Prabowo dengan emosi; dan Gibran minimalis dengan sindiran halus.
Tidak ada gaya public speaking yang ideal, semua tergantung konteks, budaya politik dan siapa audiens yang dihadapi.
Penutup
Ke depan kita akan menyaksikan lebih banyak gaya komunikasi baru. Di tengah dunia yang makin cepat dan penuh distraksi, tantangan utama bukan lagi sekadar siapa yang bicara paling keras, tapi siapa yang mampu membangun makna, seperti Khamenei atau bahkan seperti Donald Trump? kata Aristoteles: “He who masters speech, masters hearts.” (***)
Discussion about this post