Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Pengamat)
DI berbagai belahan dunia, permasalahan tata kelola perkotaan tetap menjadi masalah yang kompleks. Masalah yang lebih sebagai dampak dari perkembangan sebuah kota. Meskipun sebuah dampak, pemerintah tetap bisa ditagih oleh publik sejauh mana kepedulian mereka mengantisipasi masalah ini dalam jangka panjang dan simultan.
Bagi daerah perkotaan fenomena migrasi (Urban Sprawl) berdampak pada kepadatan penduduk yang ditandai dengan perkembangan atau perluasan suatu kawasan perkotaan yang tak terkontrol, termasuk pembangunan perumahan secara komersial, pembangunan jalan di tanah yang luas, tetapi tidak disertai dengan sistem perencanaan kota yang baik.
Istilah Urban Sprawl ini juga merujuk pada dampak pembangunan yang tidak terkontrol itu terhadap konsekuensi sosial dan lingkungan di kawasan seperti penyediaan infrastruktur yang kurang, banjir, kebutuhan aksesbilitas antar pusat pertumbuhan kurang, kemiskinan dan lain sebagainya.
Pemicunya adalah bertambahnya populasi dan berlanjutnya pertumbuhan pesat secara horizontal yang membutuhkan lahan, pada akhirnya kota-kota tersebut pun akan menemui krisis tata kelola.
Bila kita komparasi dengan situasi dunia, ada satu fakta mencengangkan, bahwa 35 persen pertumbuhan populasi perkotaan global rentang tahun 2018 dan 2050 akan dikontribusikan oleh tiga negara saja, yaitu India, Tiongkok dan Nigeria.
Menurut data terbaru, luas area perkotaan diperkirakan meningkat 80 persen secara global dari tahun 2018 sampai 2030, dengan asumsi tingkat pertumbuhan tahunan tidak berubah. Apabila kota-kota ini berkembang secara horizontal, bukan vertikal, seperti halnya pertumbuhan di Mumbai, maka kesenjangan ruang dan ekonomi serta akses terhadap sumber daya alam akan semakin buruk.
Membayangkan Beijing, Lagos, Mumbai dan kota – kota besar di negara berkembang, pada saat itu kita melihat trend pertumbuhan dan penurunan kualitas secara bersamaan. Ambil contoh Mumbai, sebuah kota di India dengan populasi 20,7 juta jiwa, yang beberapa dekade lalu hanyalah sebuah kota pesisir kecil. Kini, Mumbai telah berkembang menjadi sebuah megacity seluas 603,4 km2.
Karena pertumbuhan yang begitu pesat, kota ini mengalami penurunan kualitas sarana dan prasarana yang signifikan, Kurang dari 30 persen rumah memiliki saluran pembuangan. Kurang dari 20 persen rumah memiliki akses ke air leding. Ditambah, semakin menjamurnya rumah-rumah yang terletak di pemukiman kumuh dan informal di pinggiran kota.
Saat kota-kota makmur di belahan Amerika Utara, Eropa dan Asia Timur tumbuh vertikal dengan gedung-gedung pencakar langitnya, kota-kota di Afrika dan Asia Selatan justru tumbuh secara horizontal. Sejumlah kota yang tumbuh horizontal ini bisa dibilang adalah kota-kota dengan dana pengelolaan pertumbuhan paling sedikit, namun dengan proyeksi pertumbuhan populasi yang cukup besar yakni hingga 2 miliar pada tahun 2050 mendatang.
Lalu bagaimana dengan Kota Jambi ?
Sebelum saya mengulasnya, kita harus bersepakat tata kelola perkotaan bertujuan untuk menciptakan suatu kota yang berkelanjutan, bukan pada periode saat ini saat seorang menjadi walikota.
Kota berkelanjutan harus terlebih dahulu mengetahui ide pembangunannya seperti apa serta melihat apakah ada pendukung untuk menjadikan kota yang berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan sangat berdampak bagi perkembangan kota-kota di masa depan. Masalah tata kelola perkotaan di Indonesia memang sudah sejak lama tidak begitu baik terutama pada kota-kota besar atau metropolitan. Termasuk di Kota Jambi.
Dalam konteks berkelanjutan sesungguhnya strategi pemerintah Kota Jambi dalam hal ini masih terpaku pada proyek fisik oriented, yang bisa dilihat dari prioritas infrastruktur untuk membangun gedung kantor walikota, jalur trotoar dan pedestrian yang menutupi resapan air ataupun berbagai spot berfoto yang sebenarnya tidak menjawab kebutuhan kota di masa depan, kecuali mengejar belanja anggaran yang besar mercusuar.
Tata kelola perkotaan di Kota Jambi belum bertujuan untuk menciptakan suatu kota yang berkelanjutan, dimana dalam mengelola suatu kota harus terlebih dahulu mengetahui ide pembangunannya seperti apa serta melihat apakah ada pendukung untuk menjadikan kota yang berkelanjutan. Untuk dua dasa atau tiga dasa warsa ke depan, kita tidak tahu mau diarahkan seperti apa Kota Jambi menghadapi urbanisasi dan segala masalah turunannya seperti macet, pemukiman, air bersih dan kualitas hidupnya.
Pembangunan berkelanjutan sangat berdampak bagi perkembangan Kota Jambi di masa depan. Masalah tata kelola perkotaan di Jambi memang sudah sejak lama tidak begitu berorientasi ke masa depan.
Padahal menurut Kusbiantoro dalam mengelola perkotaan terdapat 6 komponen yaitu Proses perencanaan, daya saing perkotaan, pengelolaan lahan perkotaan, infrastruktur dan pengelolaan layanannya, pengelolaan institusi perkotaan dan pengelolaan kawasan pinggiran.
Tentu saja menterjemahkan indikator ini bukan dengan jalan menerbitkan izin perumahan atau bangunan sebanyak mungkin, membuat kota ini menghorizontal tanpa terkelola, tanpa menyiapkan desain kawasan pemukiman untuk masa depan perkotaan secara vertikal di Jambi.
Sampai saat ini saya menilai pemerintah kota tidak memiliki langkah penataan ruang terkait migrasi yang berdampak pada kepadatan penduduk yang ditandai dengan urban sprawl, penyediaan infrastruktur dasar, banjir, kebutuhan akses antar pusat pertumbuhan kurang, kemiskinan dan lain sebagainya. Jika kalaupun ada, pendekatan masih terlalu parsial, sepotong -sepotong tidak dalam kerangka besar strategi pembangunan.
Bahkan ada kecendrungan, apa yang terpikir itulah yang dikerjakan, tanpa tahu kemana pembangunan untuk dituju. Saya lihat, tiru, anggarkan, lelang dan bangun dengan warna – warni, sekedar enak dipandang mata. Maka dalam pola pembangunan ini, menurut saya, pemerintah hanya akan membuat Kota Jambi menjadi kampung besar bukan sebagai kota berperadaban. (***)
Discussion about this post