Oleh: Bahren Nurdin
(Pengamat Sosial dan Kebijakan Publik)
PERNAH menjadi diskusi hangat beberapa tahun lalu. Jika tidak salah, dalam salah satu sesi wawancara yang dilakukan oleh The New York Times, Sundar Pichai (CEO Alphabet Inc. – induk perusahaan Google) menyatakan bahwa Google tidak melihat gelar universitas sebagai faktor utama dalam proses rekrutmen. Ia lebih menekankan pada kemampuan teknis, pengalaman nyata, dan kemampuan untuk memecahkan masalah.
Pernyataan ini menggambarkan pendekatan Google yang lebih terbuka terhadap kompetensi seseorang dari berbagai latar belakang; tidak hanya gelar akademis dari universitas.
Tidak dapat dipungkiri, isu ini kemudian banyak sedikitnya mengubah paradigma masyarakat dunia tentang urgensi ijazah sarjana dan dunia kerja. Masihkah ijazah sarjana diperlukan untuk dunia kerja?
Di beberapa negara besar, ada tren di mana kuliah tidak lagi menjadi pilihan utama, kecuali bagi mereka yang benar-benar bercita-cita untuk terjun ke dalam dunia akademis seperti dosen, peneliti, ilmuan, guru, atau bidang-bidang tertentu di sektor pemerintahan.
Berkat semakin terbukanya akses informasi dan peluang di berbagai bidang, banyak kaum muda mulai mempertimbangkan opsi lain selain kuliah tradisional. Mereka memilih jalur sertifikasi yang sesuai dengan dunia kerja dan lebih menekankan pada pengembangan keahlian yang relevan dengan minat dan bakat masing-masing.
Dengan pendekatan ini, anak-anak muda tidak perlu lagi mengikuti program kuliah selama beberapa tahun, melainkan mereka dapat memilih kursus-kursus atau pelatihan di berbagai balai latihan kerja sesuai dengan tuntutan industri atau perusahaan tempat mereka berkecimpung. Apakah itu pelatihan dalam bidang teknologi, desain, manajemen, atau bahkan keterampilan praktis seperti kuliner. Pendekatan ini memungkinkan mereka untuk lebih cepat masuk ke dalam dunia kerja dengan keahlian yang lebih spesifik dan terfokus.
Seiring dengan itu, semakin banyak kaum muda yang juga memilih untuk merintis usaha mereka sendiri dan menjadi seorang entrepreneur. Mereka percaya bahwa dengan mengembangkan ide bisnis yang unik dan berinovasi, mereka dapat menciptakan peluang kerja bagi diri sendiri dan orang lain, serta mengambil peran aktif dalam pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Namun, jika paradigma ini ingin diterapkan di Indonesia, tentunya ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan secara seksama. Salah satunya adalah perubahan dalam sistem pengakuan kompetensi.
Perusahaan-perusahaan harus bersedia untuk tidak lagi membedakan gaji berdasarkan tingkat pendidikan formal. Sebaliknya, gaji akan ditentukan oleh kompetensi dan keterampilan yang dimiliki oleh individu. Dengan cara ini, individu yang telah mengikuti pelatihan dan memperoleh sertifikasi dalam bidang tertentu akan mendapatkan penghargaan yang setara dengan individu yang telah menyelesaikan program kuliah.
Namun, pilihan antara kerja dan kuliah tetaplah menjadi suatu pertimbangan yang sangat individual. Beberapa orang mungkin merasa bahwa pengalaman belajar di bangku kuliah adalah penting untuk perkembangan pribadi mereka, sementara yang lain lebih tertarik untuk langsung terjun ke dalam dunia kerja dan mengasah keterampilan praktis.
Oleh karena itu, penting bagi anak-anak muda untuk benar-benar merenungkan minat, tujuan, dan potensi mereka sebelum membuat keputusan besar ini.
Akhirnya, pesan yang ingin disampaikan kepada generasi muda adalah untuk memilih dengan bijak sesuai dengan visi dan tujuan pribadi. Apakah itu melalui pendidikan formal, sertifikasi, atau merintis usaha sendiri, setiap pilihan memiliki nilai dan kontribusinya sendiri dalam mengembangkan karir dan masa depan yang sukses. Yang terpenting adalah bagaimana kita bergerak maju dengan tekad dan semangat untuk mencapai tujuan-tujuan yang kita impikan. (***)
Discussion about this post