Jambiday.com, JAMBI– Fenomena Bubble Elektabilitas atau Elektabilitas Gelembung Sabun diniscayai menghinggapi salah satu bakal calon Walikota Jambi dr. Maulana. Penilaian ini disampaikan salah seorang pengamat yang juga peneliti Dr. Noviardi Ferzi (4/6).
” Apa iya survei Mei 2024 ia elektabilitasnya mencapai 76,8%. Jangan – jangan ia terjebak fenomena gelembung elektabilitas, terlihat besar namun kosong, ” ungkapnya di Bungo saat diwawancarai via telp.
Fenomena Gelembung Sabun (Bubble Elektabilitas) pada keterpilihan merupakan perumpamaan yang mengambarkan rapuh tak berisinya elektabilitas seorang calon dalam pilkada.
Dalam kajian preferensi, elektabilitas sebenarnya adalah bagian fenomena Bandwagon effect, satu kecendrungan untuk mengikuti satu sama lain. Kondisi ini adalah efek ikut-ikutan yang muncul dari sebuah populeritas. Fenomena ini ditandai dengan adanya kecenderungan seseorang untuk mengikuti apa yang orang lain pakai (pilih) karena jumlah orang yang menggunakan (memilih) hal tersebut semakin banyak.
Dalam penjelasannya, Noviardi mengatakan elektabilitas tersebut hanya bubble (gelembung), rapuh, tidak kuat, yang rentan pecah. Sebab Maulana belum teruji memiliki basis massa yang kuat.
“Hasil survei yang mengatakan ia tinggi, perlu kita sikapi secara skeptis (ragu – ragu) karena begitulah standar keilmuan menanggapi suatu data. Apakah angka itu realistis, atau masih efek ia saat harmonis dengan Walikota dulu, karena dulu saja elektabilitas ia tak setinggi itu ?. Sehingga hal ini saya nilai bubble fenomena yang melanggar logika grass root politik pilihan. Maaf Basis sosial dan kinerja dia apa, ?” tanyanya.
Karena tidak memiliki basis massa yang kuat, katanya lebih lanjut, elektabilitas Maulana yang tinggi ini tidak lepas dari popularitas kerja Fasha Maulana.
Selain itu secara ilmu survei politik, Noviardi juga mengatakan, instrumen pengukuran survei perlu dipertanyakan. Jangan sampai peneliti kurang memahami instrumen atau indikator untuk mengukur antara Variabel Populeritas, Akseptabilitas dan Elektabilitas. Karena jika indikator yang sebenarnya termasuk indikator pengukuran populeritas tapi difahami sebagai instrumen elektabilitas, maka hasil riset bisa saja rancu. Penelitian bisa salah baca, salah analisa.
” ha ha jadi gini aja ya, Maulana ada baiknya bertanya pada penelitinya, benar ngak instrumen yang digunakan, sahih ngak besaran sampelnya, jangan
indikator yang sebenarnya termasuk indikator populeritas tapi masuk pada pengukuran elektabilitas, maka hasilnya rancu. Penelitian bisa salah baca, salah analisa. Tapi, sebatas gimmik berita ok – ok saja, ” imbuhnya.
Terakhir, Ketika ditanya hasil penelitiannya di Pilwako Jambi, Noviardi mengatakan lembaganya terakhir melakukan survei di Kota Maret 2024 kemarin. Namun, ia tak berhak mempublikasi, karena etika survei, hasil itu properti yang membayar, bukan lagi milik peneliti yang bisa sesuka hati dipublikasi, kita punya standar etika seperti itu.
” Betul kita terakhir melakukan survei di Kota Maret 2024 kemarin. Hasilnya, kita tak berhak mempublikasi, karena kita punya etika profesional, hasil survei properti yang membayar, bukan lagi milik peneliti yang bisa sesuka hati dipublikasi, kita punya standar etika seperti itu. ” jelasnya. (RED)
Discussion about this post