Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Pengamat)
MENGIKUTI minyak goreng yang langka dan harga gandum yang melonjak tinggi. Kini tempe dan tahu juga ikut langka. Padahal situasinya berbeda, jika minyak goreng langka, kita (baca, Indonesia) merupakan pengekspor utama CPO dunia, tapi soal gandum dan kedelai, kita masih masih sangat tergantung dari impor. Inilah anomali Indonesia, ekspor atau impor, suatu komoditi tetap langka dan mahal.
Lonjakan harga kedelai sangat dirasakan para perajin tahu dan tempe di tanah air. Masalah harga kedelai tidak akan menjadi kendala jika pemerintah menjalankan program swasembada kedelai yang dicanangkan beberapa tahun lalu. Sayangnya, swasembada kedelai hanya pepesan kosong.
Sebenarnya perajin tahu dan tempe sudah terbiasa menghadapi kenaikan harga kedelai sebagai bahan baku utama usaha mereka. Namun, kenaikan kali ini tak lagi bisa ditoleransi.
Kenaikan harga kedelai sebagai bahan baku pembuatan tempe sangat berdampak pada pengrajin. Walhasil, mereka masih menjual tempe hasil produksinya dengan harga yang sama. Jika dinaikkan, para konsumen akan komplain kepada para perajin.
Harga kedelai telah mengalami kenaikan sejak tiga bulan yang lalu. Bahkan kenaikan tertinggi pada akhir Januari 2022. Beragam cara ditempuh para perajin tahu dan tempe dalam menghadapi kenaikan harga kedelai. Mulai dari pengurangan ukuran tahu dan tempe hingga menaikkan harga sudah dilakukan. Namun, cara-cara tersebut tak dapat menghindarkan mereka dari kerugian.
Bahkan, sejumlah perajin tahu dan tempe juga telah mengurangi jumlah karyawan mereka untuk menambal biaya produksi yang tinggi. Imbas melonjaknya harga kacang kedelai, omzet penjualan tahu perajin rata-rata turun 30 persen dari harga normal.
Menyikapi hal ini, Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu (Gakoptindo) mengungkapkan, perajin tahu dan tempe berencana mogok produksi pada 21-23 Februari 2022. Para perajin tahu akan kembali beroperasi, jika ada penurunan harga kedelai atau diperbolehkan menaikkan harga tahu di pasaran.
Mahalnya harga kedelai juga membuat stok tahu dan tempe menjadi langka di pasaran, kelangkaan tahu dan tempe di pasaran.Tak hanya langka, harga tempe dan tahu pun menjadi mahal. Jika, ini terjadi secara luas, siap-siap saja kita tak lagi bisa menikmati tahu dan tempe.
Gangguan Suplai dan Faktor Kebijakan
Fakta hari ini 80 persen kebutuhan kedelai di dalam negeri untuk bahan baku tahu dan tempe didatangkan dari impor. Ketika terjadi kenaikan harga kedelai global pasti berdampak pada harga kedelai impor ke Indonesia.
Jika ditelisik, kenaikan harga kedelai dunia terjadi karena gangguan suplai. Di negara produsen seperti Brasil terjadi penurunan produksi kedelai, dari prediksi produksi 140 juta ton pada Januari, malah turun menjadi 125 juta ton. Penurunan produksi ini berdampak pada kenaikan harga kedelai dunia.
Faktor lainnya yakni lonjakan inflasi di Amerika Serikat (AS) yang mencapai 7 persen. Kenaikan biaya sewa lahan dan ketidakpastian cuaca di negara produsen kedelai turut mendorong petani kedelai di AS menaikkan harga.
Data Chicago Board of Trade (CBOT), harga kedelai pada minggu pertama Februari 2022 mencapai 15,77 dollar AS per bushel atau sekitar Rp 11.240 per kilogram (kg) kalau di tingkat importir dalam negeri. Sedangkan di Indonesia harga kacang kedelai impor berada di angka Rp13,333 per kilogram.
Dalam situasi ini pemerintah harus tetap menjaga ketersediaan kedelai walaupun harganya tengah melonjak. Hal ini mengingat kedelai menjadi salah satu barang pokok (esensial) yang menjadi kebutuhan utama masyarakat Indonesia dikaitkan dengan kebiasaan masyarakat Indonesia yang mengonsumsi tahu dan tempe.
Pemerintah harus memiliki langkah mengurangi ketergantungan Indonesia pada kedelai impor, karena produk turunan kedelai seperti tempe dan tahu sangat sensitif terhadap harga kedelai di level global.
Ketika ada gejolak kedelai impor, itu akan berdampak pada kelangkaan, imbasnya akan ada kenaikan produk-produk turunan kedelai, seperti tempe, tahu, susu kedelai, dan lain-lain.
Akar dari masalah ini sebenarnya pada kurangnya perhatian pemerintah pada produksi kedelai lokal. Pemerintah kerap menyederhanakan persoalan kesenjangan antara permintaan dan pasokan, dengan cara impor.
Paradigma tersebut harus segera diubah, kurangnya komitmen pemerintah dalam produksi kedelai dalam negeri terlihat dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang justru mereduksi UU Pangan.
Dalam UU Pangan, untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri mengutamakan produk dalam negeri, sehingga produksi harus menjadi perhatian. Tapi dalam UU Ciptaker, antara produk dalam negeri dan produk impor itu diperlakukan sama yang penting kebutuhan dipenuhi. Jadi dari sisi regulasi memang pemerintah kurang perhatian.
Pemerintah seharusnya menugaskan Bulog untuk memiliki cadangan kedelai. Nantinya, cadangan kedelai ini bisa dilepas ketika terjadi kenaikan harga di level global. Ketika ada gejolak harga di pasar global, dampaknya tidak langsung terasa ke produsen tahu dan tempe. Tidak seperti sekarang, seolah menyerahkan urusan perut pada orang lain. (***)
Discussion about this post